Connect with us

HEADLINE

‘Bola Liar’ Pemindahan Ibu Kota Marabahan, Begini Pandangan Tiga Mantan Bupati Batola


Bardiansyah Mudjidi: Sejak Berdiri 1960 Tidak Pernah Dilempari Isu Pemindahan Ibu Kota Baru


Diterbitkan

pada

Bardiansyah Mudjidi, Bupati Batola 1998-2002 (kiri), Noormiliyani Aberani Sulaiman, Bupati Batola 2017-2022 (tengah), dan Eddy Sukarma, Bupati Batola 2002-2007 (kanan). Foto: dok.pribadi

KANALKALIMANTAN.COM, MARABAHAN – Tidak lagi menjabat sebagai Bupati Kabupaten Barito Kuala (Batola), Bardiansyah Mudjidi bupati ke-9 ini, masih memantau perkembangan Bumi Selidah, meski dari jarak jauh. Cintanya kepada Batola seakan melekat hingga akhir hayat.

Isu pemindahan ibu kota di postingan reels Instagram bang.rifki.mrk, dengan tulisan keterangan “Alalak dan Batola Masa Depan”, menuai sorotan. Berdurasi satu menit tiga puluh sembilan detik, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, anggota Komisi II DPR RI dari Kalimantan Selatan bermimpi, pemindahan ibu kota yang sekarang di Kecamatan Marabahan bergeser ke Kecamatan Alalak.

Sejak 4 Januari 1960, sampai umur Batola ke-63 tahun, tidak pernah dilempari isu pemindahan ibu kota baru. Lebih ekstrimnya, Bupati Batola terdahulu mengaku malah dihadapakan dengan ujian berat. Ada rencana pembentukan kabupaten baru, hingga lepas dari Kalimantan Selatan, kemudian bergabung ke Kalimantan Tengah.

Gerakan kabupaten baru itu disebut Bantam Raya, sementara provinsi baru yang rencananya berdiri di luar Kalsel-teng itu disebut Barito Raya.

 

Baca juga : ‘Bola Panas’ Wacana Pemindahan Ibu Kota Batola, Mimpi Rifqinizamy Tuai Kontra!

Melalui sambungan telepon, Bardiansyah Mudjidi, Bupati Kabupaten Barito Kuala periode 1998-2002 ini, bercerita step by step Batola di zamannya ketika menjabat. Dia memantau perkembangan Batola.

Berkali-kali ia melemparkan percakapannya tentang pentingnya mengetahui sejarah di Bumi Selidah.

Umur Bardi -biasa disapa- sudah 71 tahun, namun suaranya masih terdengar bugar dan bersemangat.

Flashback Bupati Batola ke-9 itu, memfokuskan pengabdiannya di Batola pada pembangunan di sektor pertanian. Apa saja yang menyangkut pertanian, akan dimudahkannya.

Bardi menggambarkan Batola saat itu masih terisolir. Daerah lintasan di Batola masih minim akses ke Kapuas, kabupaten tetangga terdekat di Kalteng. Demikian jalan menuju daerah hulu sungai, yang masih satu Provinsi di Kalsel, namun sulit diakses.

Dia membangun pasar induk Handil Bakti, di Kecamatan Alalak. Semua hasil pertanian di Batola, harus bisa dipasarkan. Ia melihat hasil pertanian sukses dipasarkan pada kawasan yang berbatasan dengan Kota Banjarmasin itu.

“Namun sekarang kita menyayangkan pasar itu tak lagi optimal,” pantau Bardi.

Marabahan yang posisinya ia anggap sudah hampir berada di tengah, hingga sekarang masih perlu adanya pembangunan, seperti normalisasi sungai untuk perairan, infrastuktur jalan, pelabuhan, pasar kecamatan memadai yang sangat diperlukan masyarakat.

Lelaki yang sekarang tinggal di Malang ini lebih mendukung jika segala akses Kecamatan Tabunganen, Tamban, Mekarsari, Anjir Pasar, Anjir Muara, lanjut hingga ke Kecamatan Kuripan, Tabukan dan kecamatan lainnya terus dimudahkan.

“Nah, aku lebih setuju itu yang diisukan. Bukan waktunya memindah ibu kota kabupaten,” ungkapnya.

Dia sedih jika warga yang sekarang letaknya di ujung seperti di Kuripan, jika ibu kota dipindah ke Alalak, maka mereka dikhawatirkan akan semakin tertinggal. Jangan sampai keputusan itu memberatkan yang tertinggal.

Pemindahan ibu kota, menurut Bardi bisa saja dilakukan, namun segala hal harus diperhatikan, namun jangan sampai orang lupa diri, seolah-olah membuat para terdahulu tidak lagi ada artinya.
Kendati Kecamatan Alalak diartikan sebagai kota satelitnya Kabupaten Barito Kuala, sebagai dampak pembangunan yang dilaksanakan oleh pemimpin terdahulu. Namun, ia menyayangkan jika ibu kota harus dipindahkan ke Alalak. Saat ini masih tidak mendesak. “Jangan lupa juga pada induknya, asalnya (Marabahan, red),” tegasnya.

Memahami dan belajar sejarah Kabupaten Batola dia wajibkan, agar tidak salah tersirat dan tersurat di kemudian hari, juga tidak menyimpang pada filosofi penuntut kabupaten. Menurutnya ada saatnya situasional, namun tetap memperhatikan rambu-rambu, sehingga apapun yang disampaikan baik pernyataan atau isu yang dilemparkan tidak bias, tidak menimbulkan keresahan.

“Itu boleh saja kita makan makanan yang cepat saji, tapi dilihat keadaannya. Jika kita mau ketinggalan pesawat, mau tidak mau kita makan. Namun, jika dalam keadaan yang wajar saja, lebih baik kita makan makanan yang dibuat oleh ibu-ibu rumah tangga biasa. Itu pasti lebih enak,” kata Bardi menganalogikan.

Dari aspek sejarah Marabahan, sewaktu saat itu di mata pendahulu adalah kota kenangan. Pusat pemerintahan tidak harus di daerah keramaian, menurutnya keramaian diperlukan untuk pusat bisnis saja.

Bupati Batola 1998-2002 ini menginginkan Batola kedepan pembangunan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkeadilan.

Kembali dia menganalogikan ibarat seseorang yang mau berangkat dari Marabahan ke Kota Banjarmasin, dia penumpang taksi. Ada yang menumpang dari Jembatan Rumpiang, ada pula yang menumpang dari simpang empat Handil Bakti yang sudah dekat dengan Banjarmasin, namun penumpang itu tidak tahu cerita di Sungai Gampa, dia tidak tahu cerita di Cerbon, jalur terdahulu yang dilintasi penumpang yang lain. Jika ingin tahu cerita itu, penumpang itu harus menoleh ke belakang.

Di akhir percakapannya bersama Kanalkalimantan, alumni KAHMI Jember era 80-an ini bertitip pesan kepada warga di Kabupaten Barito Kuala. Pesannya diucapkan dengan bahasa Bakumpai.

“Dengan semangat menjaga Lebun Itah (bumi kita, red) saya meminta kepada masyarakat Kabupaten Batola, untuk bersatu padu membangun Batola, jangan termakan berita yang meresahkan,” tutupnya 7 Januari 2023 kemarin.

Berselang satu hari, kanal Kalimantan berkunjung ke kediaman Eddy Sukarma, di Banjarmasin. Dia adalah Bupati ke-10 Kabupaten Batola.

Begitu masuk dan duduk di ruang tamu rumah Eddy, terpajang tiga foto berukuran sedang, di dinding sebelah kanan. Ketiga foto itu adalah moment ketika ia jadi Bupati (2002-2007). Satu foto Eddy bersama presiden ke lima, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri. Sementara dua foto lagi moment ketika ia bersama Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.

Di dinding sebelah kiri dan bagian belakang, ada foto para ulama, Abah Guru Sekumpul atau Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.

Di tahun pertama menjabat, Eddy bercerita dia sudah dihadapkan dengan adanya isu mendirikan provinsi baru di Kalimantan. Ketimpangan pembangunan menjadi dasarnya. Provinsi itu dinamai Provinsi Barito Raya, ‘anggotanya’ Kabupaten Barito Utara, Selatan, Timur, Murung Raya dan Batola sendiri. Kelima kabupaten itu terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.

Di Batola, zaman itu masih 12 kecamatan, meredam isu itu, dia undang semua tokoh agama dan masyarakat guna mengantisipasi terbentuknya Barito Raya. Ada yang pro dan kontra katanya, singkat cerita mereka sepakat provinsi baru itu tidak jadi dilaksanakan.

Gelombang kedua dia harus dihadapkan dengan pemisahan Kabupaten Batola yaitu Bantam Raya. Meredam isu Bantam Raya, ia membangun beberapa jembatan besi, untuk menghubungkan kecamatan, desa, kabupaten, salah satunya jembatan besi itu ada di Kecamatan Mandastana.
Isu Barito Raya dan Bantam Raya mereda, dia berfokus memasukan akses komunikasi. Zaman itu jaringan telephone genggam di Batola masih nihil. Batola masuk kawasan tertinggal dan terluar. Dia sukses memasukan Matrix, disusul Telkomsel hingga Flexi.

Selama menjabat, kakak kandung Rudy Resnawan ini mengaku tidak pernah ada isu pemindahan ibu kota baru. Terang Eddy, Batola sudah mempunyai pengalaman isu mendirikan hingga pemisahan kabupaten. Belakangan terang Eddy, isu itu semakin terjawab setelah terbangunnya Jembatan Rumpiang.

Dari pengalaman semua itu, ia mengharuskan Batola punya kajian akademis, sosial, ekonomi, hingga geografi jika diharuskan untuk memindah ibu kota.

“Batola punya banyak pengalaman. Jika mau memindah ibu kota silahkan saja, tapi bikin dulu kajiannya, baru kita berbicara. Tidak sembarangan. Iyakah,” katanya, Minggu 8 Januari 2023 kemarin.

Menanggapi bola liar pemindahan ibu kota baru itu, Bupati Noormiliyani Aberani Sulaiman, yang baru saja mengakhiri masa kepemimpinannya Jumat (4/11/2022) tadi, turut angkat bicara.

Bupati ke-13 Batola itu berujar, wacana itu harus mendapat persetujuan mayoritas masyarakat lewat referendum. Sebelum referendum dilaksanakan, harus ada kajian lewat uji publik yang meneliti dari nilai-nilai sejarah.

“Karena bangsa yang besar yang bisa menghargai perjuangan para pejuang, jadi tidak bisa diputuskan hanya lewat DPRD atau kepentingan golongan/politik,” katanya melalui pesan singkat. (Kanalkalimantan.com/rdy)

Reporter : rdy
Editor : bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->