Connect with us

Kesehatan

Awas! Jangan Asal Percaya Klaim Obat Covid-19

Diterbitkan

pada

Sebuah toko jamu di pasar tradisional di Yogyakarta menjual berbagai ramuan tradisional untuk meningkatkan kekebalan tubuh di tengah pandemi virus corona (Covid-19), 3 Maret 2020. Foto: AFP via VOA

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Di tengah meningkatnya kasus Covid-19-19 di dunia dan Indonesia, tentu publik berharap obatnya segera ditemukan. Sejumlah klaim pun bermunculan. Mulai dari Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) mengklaim menemukan obat penawar tradisional, hingga Rektor Universitas Airlangga mengklaim efektivitas kombinasi lima obat, meski tidak melakukan uji kepada makhluk hidup (in vitro).

Kenyataannya, sampai saat ini, obat untuk menyembuhkan Covid-19 belum tersedia.

Humas RSUP Persahabatan, DR. Dr. Erlina Burhan, mengatakan tenaga medis saat ini menggunakan beberapa jenis obat untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan. Hal ini berdasarkan pengalaman negara-negara lain.

“Obatnya merupakan obat yang spesifik dan kerjanya masing-masing berbeda, maka kami memberikan beberapa tidak satu saja,” jelasnya dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (28/6) sore.

Erlina menjelaskan, jika pasien tidak merespons obat tersebut, ada beberapa terapi yang bisa dilakukan antara lain terapi stem cell, interferon, atau human immunoglobulin.

Seorang apoteker menunjukkan kaplet Deksametason di London, 16 Juni 2020. Foto: AFP

Awas Deksametason

Erlina menyoroti penggunaan Deksametason yang ramai diperbincangkan publik. Dia menjelaskan, berdasarkan studi di Inggris, obat ini dapat membantu pasien kritis.

“Deksametason dosis rendah itu ada manfaatnya untuk pasien-pasien yang kritis, yang dalam ventilator. Itu bisa menurunkan sepertiga dari kematian, dan seperlima kematian pada pasien-pasien yang membutuhkan oksigen,” tegasnya.

Namun, dia menegaskan, obat keras ini bukan untuk pasien ringan atau pencegahan. Sementara obat keras haruslah dikonsumsi berdasarkan resep dokter.

“Saya dengar masyarakat banyak yang borong Deksametason secara online. Padahal itu adalah obat keras yang banyak efek sampingnya,” tandasnya lagi.

Erlina mengatakan, di samping klaim obat, klaim ramuan herbal pun harus dibuktikan secara ilmiah.

Inovasi Perlu Ikuti Aturan

Dr. M. Nasser dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, inovasi dan kreativitas warga negara memang harus dihargai. Namun, untuk digunakan masyarakat luas, tetap ada syaratnya.

“Menjaga kreativitas ini arus tetap sesuai peraturan perundangan. Tidak bisa kita mengatakan karena basis kita sendiri,” pungkasnya dalam kesempatan yang sama.

Dia mengatakan, tak sedikit pula orang yang memanfaatkan situasi krisis untuk mencari keuntungan.

Dr. M. Nasser mengatakan, inovasi dan kreativitas harus dihargai, api tetap berada dalam koridor undang-undang (Foto: tangkapan layar)

“Ini banyak juga mengambil kesempatan di tikungan. Saya kira tugas kita adalah mendorong hal-hal yang baik namun menutup celah orang-orang yang spekulatif kayak ini,” ujarnya tegas.

Ada baiknya, ujar Nasser, pemerintah bertemu dengan pihak-pihak yang mengklaim efektivitas obat secara berlebihan. Di situ, harus dilakukan klarifikasi kepada masyarakat luas.

“Beliau harus diundang untuk mempresentasikan (obatnya) di sana kemudian terjadi dialog. Aturan disampaikan, dan kepada beliau dilakukan klarifikasi atas produk ini,” usulnya.

BPOM Takkan Halangi Inovasi

Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan tidak akan menutup pintu inovasi dan kreativitas warga negara. Namun, ujar Direktur Registrasi Obat Dr. Rizka Andalucia, setiap temuan obat tetap harus diuji khasiat dan keamanannya.

“Tentunya kita harus tetap memastikan sebelum digunakan masyarakat obat itu dapat menyertakan khasiat dan keamanannya,” tegas Rizka, yang memperingatkan obat yang tidak aman bisa menyebabkan kegagalan dalam pengobatan.

Direktur Registrasi Obat Dr. Rizka Andalucia menegaskan, uji khasiat penting supaya tidak menimbulkan treatment failure atau kegagalan pengobatan. (Foto: tangkapan layar)

Rizka menegaskan, obat yang telah diberi izin edar BPOM harus menyertakan khasiat yang lengkap, objektif, dan jelas. Segala klaim tidak boleh melampaui hasil uji klinis.

“Untuk menjamin bahwa penggunaan obat tersebut digunakan secara rasional. Artinya tidak boleh ada overclaim (klaim berlebihan). Tidak boleh ada klaim yang tidak dapat dibuktikan dengan data uji klinik,” imbuhnya.

BPOM Percepat Registrasi Obat

Seorang teknisi lab menunjukkan “Favipiravir”, yang masih dalam pengujian untuk pengobatan virus corona (Covid-19) di Eva Pharma Facility di Kairo, Mesir, 25 Juni 2020. Foto: Reuters via VOA

BPOM sendiri telah memangkas durasi registrasi obat dalam masa pandemi Covid-19. Jika sebelum Covid-19 proses registrasi bisa memakan total 400 hari kerja, kini diringkas sampai 25 hari kerja saja. Selain itu, tambah Rizka, fase uji klinis pun bisa dipercepat. Sebuah obat bisa diberikan izin penggunaan darurat meski baru lolos tahap dua.

“Setelah uji klinis fase dua dilakukan dan diperoleh data interim analysis yang menunjukkan bahwa obat tersebut mempunyai kemanfaatan dan aman digunakan pada pasien, pada subjek sakit, kita dapat memberikan yang namanya emergency use authorization,” jelasnya.

Namun, ketika obat digunakan, fase 3 dan fase 4 tetap harus dijalankan. Dan jika ditemukan keganjilan, obat itu akan ditarik kembali.

Ketua Harian Pengurus Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan meski keinginan akan obat sangat tinggi, jangan sampai mengkompromikan keselamatan publik.

“Sehingga proses penemuan obat baru, jamu baru, segala macam untuk Covid-19 memang harus dilakukan. Tapi memang harus mengarusutamakan keselamatan dan standar-standar yang ada,” tutupnya. (rt/em)

 

Reporter : Rio
Editor : VOA

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->