Connect with us

OBITUARI

Umbu Landu Paranggi “Presiden Malioboro” dan Mahaguru Penyair Indonesia Berpulang

Diterbitkan

pada

Umbu Landu Paranggi Foto: ist

KANALKALIMANTAN.COM, DENPASAR – Sastrawan legendaris Indonesia, Umbu Landu Paranggi, menghembuskan nafas terakhirnya pada Selasa (6/4/2021) pukul 03.55 WITA, di Denpasar, Bali.

Penyair berusia 77 tahun ini sempat dirawat di RS Bali Mandara sejak Sabtu, 3 April 2021 karena kondisi kesehatannya yang melemah.

Kematian Umbu jadi kabar duka bagi dunia sastra Indonesia karena kehilangan sosok mahaguru dari para sastrawan. Umbu merupakan sosok mahaguru yang dikagumi oleh sastrawan populer Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, hingga Iman Budhi Santoso.

Banyak warganet, sastrawan, dan tokoh yang mengungkapkan ucapan belasungkawa atas kepergian Umbu. Kata-kata seperti “Umbu Landu Paranggi”, “#MaiyahBerduka”, dan “Presiden Malioboro” mengisi daftar trending topic Twitter, Selasa (6/4/2021).

Umbu Landu Paranggi lahir pada 10 Agustus 1943, di Waikabubak, kota terbesar kedua di Pulau Sumba. Perjalanan kepenyairannya berawal dari perantauannya dari Sumba Timur ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta pada 1960 untuk belajar di SMA Taman Siswa.

Namun akhirnya ia sekolah di SMA Bopkri Kotabaru. Di sekolah itulah, ia bertemu dengan guru Bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto. Umbu menyebutnya “guru yang tidak menggurui”.

Umbu dikenal sebagai anak yang pendiam dan sering menulis puisi. Suatu hari, Lasiyah, yang merupakan mantan menteri peranan wanita pertama RI itu meminta Umbu membacakan puisinya di depan kelas. “Dan Ibu Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di koran kita kritik ramai-ramai,” tutur Umbu dikutip dari Harian Kompas (18/11/2012).

Pada 1960-an, Umbu mengelola rubrik budaya di mingguan Pelopor Yogyakarta. Di tahun yang sama, ia juga memelopori apresiasi sastra di emperan toko Jalan Malioboro, Yogyakarta.

Apresiasi sastra di jalanan Malioboro ini kemudian melahirkan nama-nama besar dalam sejarah sastra Indonesia. Sampai akhirnya, Umbu dijuluki sebagai “Presiden Malioboro”. Apresiasi sastra di jalanan ini melahirkan sastrawan-sastrawan besar, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, bahkan Agus Dermawan T dan Ebiet G Ade.

Sebagaimana diketahui, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogyakarta.

Umbu menghilang Pada 1975, tiba- tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan, ia pulang kampung ke Waikabubak di Sumba Barat. Tetapi kemudian diketahui bahwa Umbu ada di Denpasar, Bali.

Setelah meninggalkan Yogyakarta, Umbu pun memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1978. Meski Umbu telah mulai menulis puisi, esai, dan artikel di Yogyakarta sejak 1950-an. Tetapi puisinya tak pernah menonjol dan menarik perhatian para kritikus.

Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern, justru mencuat ketika mendirikan Persada Studi Klub (PSK) pada 1968. Kelompok ini didirikannya bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara.

Di masa itu, Indonesia masih dalam eforia lengsernya Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSK-nya Umbu sangat kecil. Tetapi totalitas profesi yang dicontohkan Umbu sungguh luar biasa.

Umbu kerap luput dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karyanya tak banyak dikenal karena memang ia jarang memublikasikannya. Akan tetapi, para sastrawan dan seniman, setidaknya generasi 1960-an sampai 2000-an, mengaku pernah bersentuhan dengannya.

Sastrawan kenamaan, seperti Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG dan Korrie Layun Rampan selalu menyempatkan diri bertemu Umbu jika berkunjung ke Bali.

Pertengahan 1990an, Emha Ainun Nadjib, yang merupakan murid kesayangan Umbu, bahkan sampai meminta restu pada Umbu sebelum menikah. Ia menganggap Umbu sebagai orangtua yang pantas dimintai restu atas pernikahannya.

Selain itu, penyair besar seperti Taufik Ismail pernah mencatut namanya dalam sajak berjudul Beri Daku Sumba pada 1970.

Berikut puisinya:
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu Aneh, aku jadi ingat pada Umbu Selamat jalan Umbu, kami akan selalu mengingatmu.
(kompas)

Editor: cell

 

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->