Connect with us

Ekonomi

Rimpi Binuang Perlahan Digilas Tambang (Bagian 2-Habis)


Tahun bertambah, Kecamatan Binuang tumbuh dan berkembang. Sektor pertanian yang semula menjadi tumpuan utama sebagian besar warganya mulai berubah ke sektor industri dengan beroperasinya beberapa perusahaan tambang batu bara yang dimotori tokoh-tokoh lokal Binuang, ‘memanfaatkan’ bagian lain kekayaan yang dikandung bumi Binuang.


Diterbitkan

pada


RUDIYANTO
Jurnalis Kalimantan View
Tapin

Sejak sekitar tahun 2000, berhektare-hektare lahan pertanian warga, termasuk lahan-lahan pertanian tempat pohon-pohon pisang dulu tumbuh subur dibayar mahal oleh para pengusaha untuk selanjut dibongkar dan dikeruk isinya dan hanya menyisakan lubang-lubang galian ukuran raksasa.

Meski tak ingin menyebut keberadaan perusahaan-perusaan tambang batu bara itu penyebab kian berkurangnya produksi pisang di Binuang, tapi itulah kenyataan yang harus di hadapi Maslan sejak era 2000-an. Pisang awak kian hilang, kalaupun ada harganya tentu tak akan sama seperti dulu saat ( pisang masih melimpah dan memenuhi hampir setiap sudut hari pasaran Pasar Binuang saban Rabu.

Kondisi itu diperparah oleh serangan hama yang masif membunuh pohon-pohon pisang milik petani sekitar tahun 2008. “Memang masih ada pisang awak di Binuang tapi tak banyak dan kualitasnya buruk, keras dan berwarna hitam di bagian tengahnya. Pisang seperti itu kami biasanya menyebutnya pisang berbatu bara,” kata Maslan.

Meski tak semua lahan pertanian berubah jadi lokasi tambang, menurut H Maslan, dampak dari aktifitas pertambangan berupa debu batu bara dari lokasi-lokasi tambang mengontaminasi pohon-pohon pisang yang menyebabkan buah pisang mengeras dan hitam di bagian dalamnya.

Baca : H. Maslan, Generasi Pertama Pembuat Rimpi yang Masih Bertahan

Karena pisang awak kian susah di dapat di Binuang, Maslan kini membeli pisang-pisang awak dari petani di daerah Barabai, HSS. “Kalau dulu paling sedikit manyalai 15 ribu biji, tapi sekarang paling banyak hanya 5 ribu biji,” ujar H Maslan.

Banyak yang Gulung Tikar

Jika Maslan tetap bertahan manyalai di tengah kian sulitnya mendapatkan bahan baku pisang awak, berbeda lagi dengan Misrani (68). Sejak lima tahun silam, warga Desa Sarang Burung ini menyudahi usaha pembuatan rimpinya secara permanen.

Menurut Masrani, selain kian sulit dan mahalnya bahan baku, sektor pemasaran yang menjadi hilir semua produk olahan, termasuk rimpi yang kian menurun menjadi alasan lainnya berhenti manyalai.

“Karena telah diproduksi sejak puluhan tahun silam sampai sekarang, rimpi menjadi ciri khas Binuang, bahkan Tapin. Tapi kian tahun penjuMaslan rimpi dirasa kian menurun, mungkin karena di beberapa daerah lain di liuar Binuang juga ada olahan serupa, seperti di Jawa,” kata Masrani.

Puncaknya, kata Masrani, api yang digunakan memanggang pisang justru membakar gudang milik Masrani. “Sejak itu saya benar-benar berhenti manyalai, selain tak lagi ada modal untuk membeli pisang awak yang kian mahal, penjulan rimpi yang tak seramai dulu menjadi alasan lain saya,” kata Masrani.

Menurunnya penjulan rimpi Binuang itu diamini Hj Yayah, salah satu pemilik toko penyedia jajanan dan oleh-oleh yang jugamenjual rimpi. Menurut Hj Yayah, dulu, 5 ribu rimpi yang ia beli langsung pembuatnya habis terjuual dalam sepekan. “Tapi sekarang 2 ribu biji rimpi saja jarang habis dalam satu minggunya,” kata Hj Yayah.

Kendati jumlah pembuat rimpi di Binuang kian berkurang seiring kian menghilangnya bahan baku pisang, namun ia optimis rimpi tak akan hilang dari Binuang. Meski tak ada program atau berupa pembinaan khusus pada para pembuat rimpi, selama masih ada warga Binuang yang manyalai, H Maslan salah satunya, rimpi akan tetap ada di Binuang.***


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->