Connect with us

HEADLINE

‘Propaganda Rusia’, Satu Keriuhan (Lagi) Pasca Hoax dan Cebong-Kampret

Diterbitkan

pada

Berbagai istilah muncul saat kampanye Pilpres 2019 Foto: net

JAKARTA, Pilpres 2019 rupanya banyak menghadirkan istilah baru. Tak hanya meluasnya kosakata hoax, cebong dan kampret, beberapa istilah baru yang cukup familiar juga muncul. Mulai dari Tampang Boyolali, Sontoloyo, Punah, Genderuwo, dan yang terbaru mengenai Propaganda Rusia. Nampaknya, perlu kajian khusus kebahasaan atau politik dalam menyikapi istilah-istilah tersebut di perguruan tinggi.

Beberapa waktu lalu, Capres 01 Joko Widodo kembali menjadi sorotan karena menyinggung soal “propaganda Rusia” saat berkampanye di Karanganyar, Jawa Tengah, pada Minggu (3/2). Dalam kutipan pidatonya, Jokowi menyinggung bahwa ada tim sukses yang menggunakan gaya Propaganda Rusia dalam kampanye.

Jokowi menjelaskan teori propaganda Rusia dilakukan dengan menyebarkan kebohongan sebanyak-banyaknya sehingga membuat masyarakat ragu. Propaganda tersebut, kata Jokowi, yang akan memecah belah rakyat. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut maksud pernyataannya dan tim sukses mana yang ia maksud.

Walhasil, pernyataan tersebut mendapatkan respons dari Kedutaan Besar Rusia. Melalui akun Twitternya, Kedutaan Rusia menyampaikan terdapat beberapa publikasi di media massa yang menyampaikan seakan-akan ada penggunaan “propaganda Rusia” oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia.

“Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipiel Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami,” demikian pernyataan Kedutaan.

Munculnya istilah Propaganda Rusia, karena Moskow kerap diduga ikut campur dalam proses pemilihan umum suatu negara. Salah satu kasus yang paling menyedot perhatian adalah dugaan Kremlin berkolusi dengan Donald Trump untuk membantunya menang dalam pilpres Amerika Serikat pada 2016 lalu.

Badan Intelijan Pusat AS (CIA) bahkan sudah menyimpulkan Rusia ikut campur dalam pemilu tersebut demi memenangkan Trump. Dugaan kolusi tersebut memicu penyelidikan yang dipimpin langsung oleh jaksa khusus AS, Robert Mueller, sejak Mei 2017 lalu. Hingga kini, sekitar 34 orang yang berkaitan dengan Trump dan tim kampanyenya telah didakwa.

Namun, sejauh ini Mueller belum mengeluarkan tuntutan yang menuduh kolusi secara langsung antara tim kampanye Trump-Rusia.

Dalam upaya pemenangan Trump ini, Rusia juga menargetkan para pemilih AS. Agen-agen Rusia disebut menggunakan seluruh platform media sosial untuk memenangkan Trump. Salah satu badan riset internet berbasis di Saint Petersburg disebut menciptakan ribuan akun palsu di berbagai media sosial menyamar sebagai warga AS.

Akun-akun itu menggaungkan dukungan terhadap kelompok radikal hingga merencanakan demo yang mampu menjangkau jutaan pengguna medsos di AS antara 2013-2017 lalu. Menurut dakwaan Mueller, para pengguna medsos palsu itu menyebarkan berita palsu yang memicu ketidakpercayaan terhadap kandidat dan sistem politik secara umum.

Dilansir The New York Times, agen Rusia disebut membuat sedikitnya 25 situs yang menargetkan kaum sayap kanan untuk mendukung Trump. Situs-situs itu diikuti oleh sekitar 1,4 juta orang.

Blunder Jokowi dan Prabowo

Baik Jokowi maupun Prabowo cukup sering melontarkan pernyataan ataupun istilah yang menjadi kontroversi selama kampanye Pilpres. Ucapan-ucapan tersebut, disampaikan saat mereka bertemu audiens ataupun petinggi parpol.

Pada pihak Jokowi, sejumlah pernyataan yang menjadikan blunder adalah munculnya idiom kata yang mengandung unsur kekerasan seperti ‘gebuk.’ Jokowi melontarkan ucapan kontroversial saat mengungkapkan kejengkelannya lantaran kerap disebut sebagai anggota PKI. Ketika itu, ia tengah membagikan sertifikat tanah di Alun-alun Barat, Kota Serang, Banten, Rabu (14/3/2018). Ia mengancam akan memukul pelaku penyebar fitnah dia anggota PKI. “Awas kalau ketemu tak gebuk betul itu,” kata Jokowi saat itu.

Isu Jokowi anggota PKI memang ditujukan kepadanya. Karena itu, berkali-kali pula ia mengklarifikasi isu tersebut. Jokowi menuturkan fitnah dirinya merupakan anggota PKI tidak masuk akal. PKI bubar tahun 1965, sementara ia lahir 1961. “Masa ada PKI umur tiga tahun, PKI balita. Ini gimana kadang-kadang ya jengkel, tapi nyari orangnya enggak ketemu-ketemu,” kata dia.

Lalu, ada pula istilah ‘Politikus Sontoloyo’ yang disampaikan saat membagikan sertifikat di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018). Jokowi mengatakan banyak politikus sontoloyo di Indonesia. Ia meminta masyarakat hati-hati terhadap mereka yang termasuk dalam kategori ini. “Hati-hati banyak politikus baik-baik, tapi banyak juga politikus sontoloyo,” ujarnya.

Belakangan Jokowi mengaku keceplosan mengatakan kata ‘Sontoloyo’. “Saya enggak pernah pakai kata-kata itu, karena udah jengkel ya keluar. Saya sebetulnya bisa ngerem, tapi karena udah jengkel ya gimana,” katanya.

Lalu, ada juga istilah ‘Politik Genderuwo’ yang dilontarkan Jokowi untuk mengkritik tindakan sejumlah politikus. Hal itu ia ungkapkan saat memberi sambutan dalam acara pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2018). “Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Enggak benar kan? itu sering saya sampaikan itu namanya politik gerenderuwo, genderuwo, nakut-nakuti,” katanya.

Sementara pada capres 02, tak sekali-dua kali Prabowo Subianto melontarkan kalimat blunder saat kampanye. Dalam sejumlah kesempatan, Prabowo tercatat beberapa kali mengemukakan gagasan yang dinilai tak jelas ujung-pangkalnya. Pernyataannya pun baru-baru ini kerap menuai kritik dan protes. Tak ayal, narasi politik calon presiden itu beberapa kali menjadi sorotan.

Soal tampang Boyolali, misalnya. Ledekan Prabowo itu bermaksud mencandai sistem perekonomian Indonesia yang menurut kubunya makin bobrok. Prabowo mengujarkan kalimat tampang Boyolali saat ia bersafari politik di Boyolali, Jawa Tengah, pada 30 Oktober lalu. “Kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian ya tampang Boyolali ini. Betul?” tanya Prabowo.

Tak kalah heboh, adalah pernyataan Prabowo bahwa Indonesia bisa punah. Pernyataan itu dilontarkan Prabowo saat menyampaikan pidato politik di Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Senin (17/12/2018). Menurut Prabowo, elite yang berkuasa di Indonesia selalu gagal menjalankan amanah rakyat. Karena itu, dia dan Gerindra, menurutnya, tak boleh kalah pada pilpres kali ini.

“Karena itu, kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah, negara ini bisa punah. Karena elite Indonesia selalu mengecewakan, selalu gagal menjalankan amanah rakyat Indonesia. Sudah terlalu lama elite yang berkuasa puluhan tahun, sudah terlalu lama mereka memberi arah keliru, sistem yang salah,” tegas Prabowo.

Pernyataan Prabowo langsung menuai reaksi keras dari kubu Jokowi. PDIP menganggap Prabowo hanya asal bunyi alias asbun.

Dan yang belum lama terjadi, adalah pernyataan soal Menteri Pencetak Utang sebagai pengganti istilah menteri keuangan. Hal ini dilakukan pada saat Prabowo mengkritik keras pemerintah soal utang. Menurut Prabowo, utang pemerintah saat ini menumpuk terus.

Bahkan, Prabowo menegaskan jangan lagi ada penyebutan Menteri Keuangan (Menkeu), melainkan diganti jadi Menteri Pencetak Utang dalam acara dukungan alumni perguruan tinggi di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini, Jakarta Timur, Sabtu (25/1/2019). “Kalau menurut saya, jangan disebut lagilah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain,” ujar Prabowo.(cel/tmp/cnn)

Reporter:cel/tmp/cnn
Editor:Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->