Connect with us

NASIONAL

Pelan Pelan Kita Mati, Lelucon Pahit Warga Miskin di Tengah PPKM Darurat

Diterbitkan

pada

ILUSTRASI - Pedagang di Pasar Tradisional mengamuk karena dilarang berjualan saat PPKM [SuaraSulsel.id / Istimewa]

KANALKALIMANTAN.COM – Ada lelucon pahit tentang istilah PPKM yang beredar di antara warga Muara Baru, kawasan padat penduduk di Jakarta Utara.

“Pelan Pelan Kita Mati,” ujar Herdayati (48), warga Muara Baru, yang memiliki enam orang anak.

Ia merujuk kepada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM darurat, yang diterapkan pemerintah sejak 3 Juli untuk mengatasi penyebaran virus corona.

Selasa (20/7), Presiden Jokowi resmi memperpanjang masa PPKM Darurat sampai akhir pekan ini, 25 Juli.

 

 

Baca juga: PPKM Darurat Diperpanjang, Bandara Syamsudin Noor Batasi Penumpang

Pandemi saat ini semakin memperparah kemiskinan dan kelaparan bagi banyak warga, atau dalam lelucon Herdayati, mereka pelan-pelan menuju ke kematian.

Para ekonom menyebut lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta orang hanya mampu berbelanja di bawah $60 (sekitar Rp700 ribu) per bulan, menempatkannya di urutan kedua tertinggi kelompok yang “rentan secara ekonomi” di dunia.

Gelombang kedua COVID-19 membanjiri layanan kesehatan setempat, karena infeksi melonjak lima kali lipat dalam sebulan terakhir. Dalam seminggu ini, Indonesia mencatat rata-rata 49.435 kasus baru dan lebih dari 1.000 kematian per hari.

Tidak ada negara lain di dunia yang terkena pukulan lebih keras daripada Indonesia, padahal menurut para pakar kesehatan, tes yang dilakukan lebih rendah sehingga data resmi tak mencerminkan angka sebenarnya.

Menurut Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), rata-rata dua orang meninggal dengan gejala COVID-19 setiap hari di Muara Baru, yang berpenduduk sekitar 6.000 jiwa.

“Situasinya mengerikan,” ujar Eny Rochayanti, koordinator LSM tersebut.

Pemerintah berupaya meredam dampak ekonomi dengan meluncurkan paket bantuan bagi rakyat miskin.

Tanpa bantuan ini, menurut Bank Dunia, 5 juta orang bisa jatuh di bawah garis kemiskinan USD 32,59 atau sekitar Rp 400 ribu per bulan tahun lalu.

Pemerintah juga memiliki rencana menambah 8.000 tempat tidur rumah sakit serta meningkatkan jumlah tenaga kesehatan dan pasokan oksigen.

Sabtu pekan lalu, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengakui adanya dampak yang tidak proporsional pada orang miskin, dan meminta maaf “jika (kebijakan pemerintah) tidak optimal”.

Ekonom Arief Anshory Yusuf menjelaskan, urbanisasi berlangsung dengan cepat selama 20 tahun terakhir, tanpa adanya pekerjaan formal yang cukup untuk menopang arus masuk penduduk ke perkotaan.

Sementara itu, investasi pemerintah dalam sistem kesehatan minim, sehingga layanan medis sangat bergantung pada rumah sakit swasta yang tidak mampu dijangkau oleh penduduk miskin.

“Orang-orang ini tinggal di lingkungan yang padat di mana COVID menyebar dengan mudah,” kata Arief.

“Isolasi hampir tidak mungkin dijalankan. Mereka tidak bisa mengakses layanan rumah sakit. Mereka sangat rentan kehilangan pendapatan,” jelasnya.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan sistem kesehatan di Pulau Jawa “secara fungsional telah kolaps”, sehingga banyak warga yang mengambil inisiatif sendiri untuk mengobati keluarganya yang sakit.

Kepala Desa Panggungharjo, Yogyakarta, Wahyudi, misalnya, membentuk tim relawan menggunakan media sosial dan aplikasi pesan untuk memburu tempat tidur rumah sakit, pasokan oksigen, serta obat-obatan yang dibutuhkan.

Ketika tiga dari keluarga beranggota delapan orang di desanya meninggal dalam tempo 10 hari, Wahyudi dan timnya berusaha keras mengusahakan perawatan untuk kepala keluarga itu, Muji.

“Apa pun caranya, Pak Muji harus bertahan,” katanya.

Baca juga: Resep Tongseng Kambing: Bumbu, Bahan dan Cara Membuat

Setelah ditolak dari enam rumah sakit, akhirnya mereka mendapat jaminan tempat tidur untuk Muji keesokan harinya. Tapi sebelum sampai di sana, Muji telah meninggal dunia.

“Hati kami semua hancur,” ujar Wahyudi.

Sekarang bergulat dengan 500 kasus aktif di desanya, ia telah mendirikan tempat penampungan agar dapat mengisolasi mereka yang telah terinfeksi.

Sejumlah pejabat, pekerja sosial dan keluarga korban menjelaskan kepada kantor berita Reuters bahwa mereka yang memiliki uang, koneksi, dan keberuntungan memiliki harapan terbaik untuk mendapatkan bantuan medis.

Namun demikian, karena biasanya memakan waktu berhari-hari, pencarian bantuan medis seringkali berakhir tragis.

Hal inilah yang dialami Irna Nurfendiani Putri (32), seorang pekerja di bidang teknologi informasi, yang sempat berburu tempat tidur rumah sakit di Jakarta untuk saudaranya, Rachmat Bosscha (44).

“Dua orang meninggal dalam selang waktu 30 menit,” katanya. “Kemudian saudara saya dipindahkan ke tempat tidur mereka.”

Akibat ruang perawatan intensif (ICU) yang penuh dan persediaan oksigen rumah sakit yang terus habis, Irna harus berulangkali memasangkan oksigen ke saudaranya dari tangki portabel yang mereka bawa sendiri.

“Saya tidak bisa menyalahkan rumah sakit karena persediaannya langka,” katanya. “Tapi cukup mengerikan melihat saudara saya kesulitan bernapas.”

Diminta oleh staf rumah sakit untuk membeli enam botol remdesivir, obat yang menghambat virus SARS-CoV-2, keluarga Irna berhasil menemukan dua botol, sebagian berkat sepupunya yang kebetulan seorang dokter.

“Kami masih mencari empat botol lagi. Tapi pada pukul 10 pagi, rumah sakit menelepon ibu saya dan menyampaikan kabar bahwa saudara saya sudah meninggal,” papar Irna.

Baca juga: Ruang IGD RSD Idaman Banjarbaru Dikabarkan Penuh  

‘Jangan sampai sakit’

Evi Mariani, seorang pengelola laman berita daring, juga mengalami cobaan berat selama seminggu setelah saturasi oksigen ayahnya yang terinfeksi covid-19, Ijan Sofian, anjlok.

Butuh waktu lima hari bagi Ijan untuk dirawat di rumahsakit. Dia meninggal dua hari kemudian.

“Saya harus mengakui bahwa kami mendapatkan kamar rumah sakit untuk ayah melalui jaringan kerabat,” ujarnya.

“Kami bukan orang kaya, tapi masih bisa mendapatkannya melalui mekanisme pasar. Untuk orang miskin? Ini situasi yang sangat menyedihkan karena mereka tidak punya uang dan jaringan,” kata Evi.

Dengan ancaman virus yang beredar di gang-gang sempit dan pengap di daerah Muara Baru, Herdayati mengaku hanya bisa mengikuti saran tetangganya:

“Jangan sampai sakit, Bu. Jangan sakit.” (Suara.com)

Editor: Suara


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->