Connect with us

HEADLINE

Lewat “Tadarus Umbu”, Ajak Generasi Muda Melek Sastrawan Indonesia

Diterbitkan

pada

Mengenang penyair Umbu Landu Paranggi di Kampung Buku, banjarmasin Foto: Nissa

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Bertajuk “Tadarus Umbu”, obrolan kontekstual dalam rangka mengenang dan refleksi maha guru sastra Umbu Landu Paranggi dilaksanakan di Komplek Kampung Buku, Sultan Adam, Banjarmasin, Rabu (21/04/2021).

Umbu Landu Paranggi sendiri dikenal sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa.

Kegiatan tersebut diisi dengan membaca puisi Umbu, mengenang lewat cerita sekaligus doa untuk Umbu.

Tadarus Umbu turut dihadiri oleh beberapa sastrawan ternama Banua, mulai dari Susmano Hadi hingga YS Agus Suseno

Hajriansyah selaku pengelola Kampung Buku mengatakan, kegiatan ini adalah program Kampung Buku, dimana programnya meliputi bincang literasi dan obrolan Kontekstual.

“Kalau bincang literasi sendiri lebih membicarakan mengenai buku, sedangkan obrolan Kontekstual membicarakan segala sesuatu yang memang hangat di masyarakat, khususnya mengenai sastra, seperti yang dilakukan hari ini,” tutur Hajriansyah.

Sosok Umbu dipilih dengan alasan sepeninggalnya 6 April lalu, namanya banyak dibicarakan oleh sastrawan di seluruh Indonesia.

Baca juga : STOP PRESS: Penyidik KPK Diduga Peras Pejabat di Tanjungbalai Tertangkap

“Berita meninggalnya Umbu ini banyak dibicarakan oleh sastrawan di seluruh Indonesia, di Jogja, Bali, Jakarta dan lainnya. Kita juga coba ambil bagian membicarakan hal tersebut,” Jelas Hajriansyah.

Pihaknya sendiri berharap, Kampung Buku mampu menjadi tempat bagi segala kalangan untuk sama-sama berdiskusi atau bertukar pikiran.

“Harapannya perbincangan di Kampung Buku ini bukan hanya milik orang tua tapi untuk semua kalangan, bukan juga hanya untuk seniman,” tuturnya.

Seperti yang diungkapkan Agus Suseno di sela-sela perbincangan, sekarang jarang sekali anak muda yang mau duduk bersama kemudian membicarakan mengenai sastra.

Kegiatan semacam ini diharapkan mampu kembali meningkatkan kepedulian dan kecintaan terhadap sastrawan dan karya-karyanya, meskipun sastrawan tersebut telah tiada.

Sosok Umbu

Kematian Umbu jadi kabar duka bagi dunia sastra Indonesia karena kehilangan sosok mahaguru dari para sastrawan. Umbu merupakan sosok mahaguru yang dikagumi oleh sastrawan populer Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, hingga Iman Budhi Santoso.

Baca juga : Surat Suara PSU Pilwali Banjarmasin Mulai Dilipat, Tanpa Stempel ‘Pemilihan Ulang’ Tak Sah!

Banyak warganet, sastrawan, dan tokoh yang mengungkapkan ucapan belasungkawa atas kepergian Umbu. Kata-kata seperti “Umbu Landu Paranggi”, “#MaiyahBerduka”, dan “Presiden Malioboro” mengisi daftar trending topic Twitter, pada Selasa (6/4/2021).

Umbu Landu Paranggi lahir pada 10 Agustus 1943, di Waikabubak, kota terbesar kedua di Pulau Sumba. Perjalanan kepenyairannya berawal dari perantauannya dari Sumba Timur ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta pada 1960 untuk belajar di SMA Taman Siswa.

Namun akhirnya ia sekolah di SMA Bopkri Kotabaru. Di sekolah itulah, ia bertemu dengan guru Bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto. Umbu menyebutnya “guru yang tidak menggurui”.

Umbu dikenal sebagai anak yang pendiam dan sering menulis puisi. Suatu hari, Lasiyah, yang merupakan mantan menteri peranan wanita pertama RI itu meminta Umbu membacakan puisinya di depan kelas. “Dan Ibu Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di koran kita kritik ramai-ramai,” tutur Umbu dikutip dari Harian Kompas (18/11/2012).

Pada 1960-an, Umbu mengelola rubrik budaya di mingguan Pelopor Yogyakarta. Di tahun yang sama, ia juga memelopori apresiasi sastra di emperan toko Jalan Malioboro, Yogyakarta.

Baca juga : KRI Nanggala 402 Sudah Berusia 40 Tahun, Ini Spesifikasinya!

Apresiasi sastra di jalanan Malioboro ini kemudian melahirkan nama-nama besar dalam sejarah sastra Indonesia. Sampai akhirnya, Umbu dijuluki sebagai “Presiden Malioboro”.Apresiasi sastra di jalanan ini melahirkan sastrawan-sastrawan besar, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, bahkan Agus Dermawan T dan Ebiet G Ade.

Sebagaimana diketahui, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogyakarta.

Pada 1975, tiba- tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan, ia pulang kampung ke Waikabubak di Sumba Barat. Tetapi kemudian diketahui bahwa Umbu ada di Denpasar, Bali.

Setelah meninggalkan Yogyakarta, Umbu pun memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1978. Meski Umbu telah mulai menulis puisi, esai, dan artikel di Yogyakarta sejak 1950-an. Tetapi puisinya tak pernah menonjol dan menarik perhatian para kritikus.

Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern, justru mencuat ketika mendirikan Persada Studi Klub (PSK) pada 1968. Kelompok ini didirikannya bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara.

Baca juga : PSSI: Liga 1 Kick-off pada 3 Juli 2021

Di masa itu, Indonesia masih dalam eforia lengsernya Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSK-nya Umbu sangat kecil. Tetapi totalitas profesi yang dicontohkan Umbu sungguh luar biasa.

Umbu kerap luput dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karyanya tak banyak dikenal karena memang ia jarang memublikasikannya. Akan tetapi, para sastrawan dan seniman, setidaknya generasi 1960-an sampai 2000-an, mengaku pernah bersentuhan dengannya.

Sastrawan kenamaan, seperti Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG dan Korrie Layun Rampan selalu menyempatkan diri bertemu Umbu jika berkunjung ke Bali.(kanalkalimantan.com/Nissa)

 

Reporter : Nissa
Editor : Cell

 

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->