Connect with us

Manaqib

KH Husin bin Syekh Ali Al Banjari (1)


Menjadi Pengusaha untuk Membantu Sesama


Diterbitkan

pada

KH Husin Ali dengan Kiyai Falak Bogor. Foto : istimewa

Sempat dititipkan untuk dibimbing, KH Husin Ali digadang menjadi orang alim. Belajar hampir setiap bidang ilmu agama kepada KH Kasyful Anwar.

KH Husin bin Ali atau yang lebih dikenal dengan KH Husin Ali, dilahirkan di Makkah Al Mukarromah pada 6 Juli 1908 Masehi. Ayahnya, Syekh Ali Al Banjari adalah seorang ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram.

Ketika umur KH Husin bin Ali berusia 8 tahun, tepatnya di tahun 1916, keadaan tanah haram menjadi genting akibat perang saudara antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz.

Atas kebijakan ayahnya, KH Husin Ali dititipkan kepada KH Kasyful Anwar, untuk dibawa ke tanah leluhurnya di Banjar.

Saat menitipkan KH Husin Ali, Syekh Ali berpesan pada sahabatnya itu agar membimbing anaknya hingga menjadi orang alim.

“Harus hafal Qur’an. Kalau belum hafal qur’an, belum alim,” ujar Ustadz Muhammad bin Husin Ali, mengutip perkataan kakeknya kepada KH Kasyful Anwar pada kesempatan haul KH Husin bin Ali di Pesayangan, Martapura, belum lama tadi.

KH Kasyful Anwar, lantas mengingat dengan baik pesan itu. Beliau membimbing KH Husin Ali sejak kecil hingga dewasa.

Bahkan, beliau kerap berjalan kaki dari kediamannya di Kampung Melayu ke rumah KH Husin Ali di Pesayangan, Martapura untuk memberi pelajaran.

Ibu KH Husin Ali pun pernah berujar, “Mengapa kamu bersusah payah ke Pesayangan, mestinya Husin-lah yang menemuimu?”

KH Kasyful Anwar menjawab, “Ini amanat dari suamimu.”

“Padahal, kala itu KH Husin Ali sudah berumur remaja,” terang Ustadz Muhammad, yang membacakan manaqib KH Husin Ali.

Di bawah bimbingan KH Kasyful Anwar, KH Husin Ali tumbuh menjadi sosok yang alim, sesuai harapan Syekh Ali.

Beliau mempelajari hampir setiap bidang ilmu agama kepada KH Kasyful Anwar. Selain di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, di samping kepada Syekh Abdul Hamid Makkah. Kepada Syekh Abdul Hamid, KH Husin Ali belajar ilmu mantiq (logika).

“Syekh Abdul Hamid ini berasal dari Makkah, namun didatangkan Perguruan Madrasah Assalam ke Martapura,” ujar Ustadz Muhammad. Setelah dinilai memiliki keilmuan yang cukup, KH Husin Ali dipercaya sebagai pengajar di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura.

Bahkan, ketika ada bahtsul masail, KH Kasyful Anwar menunjuk KH Husin Ali sebagai ketua dalam kegiatan itu. Hal itu menunjukkan kedalaman ilmu yang dimiliki KH Husin Ali.

Pada tahun 1926, NU kembali ke khittah. Dua tahun kemudian NU membuka cabang di luar Jawa Timur yang pertama, yakni di Kalimantan Selatan. Ketua NU yang pertama itu adalah KH Abdul Qadir Hasan atau yang lebih dikenal dengan julukan Guru Tuha di Martapura.

KH Abdul Qadir Hasan ini adalah murid KH Kasyful Anwar, yang diperintahkan mengaji kepada KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) di Jombang, terkait ilmu bela diri.

Sepulang dari Jombang, Guru Tuha mendirikan cabang NU di Kalsel. Ketika itu, KH Abdul Qadir menunjuk KH Husin Ali yang masih berumur 21 tahun menjadi Sekretaris NU.

Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya periode 1931-1936 M, KH Husin Ali dipercaya menjadi pimpinan NU di Martapura, Kabupaten Banjar.

Selain menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darussalam dan organisasi, KH Husin Ali menyibukkan diri dengan menjadi pengusaha intan permata. Beliau tidak menggelar majelis di kediaman, sebagaimana ulama di masanya.

Sebagai pengusaha, beliau dikenal pengusaha yang jujur, tak banyak basa-basi. Menurut KH Syaifuddin Zuhri, pengasuh majelis taklim Bani Ismail, Banjar Indah, Banjarmasin, biasanya orang-orang membelinya tanpa menawar.

Selain karena ketokohan, juga karena barang dijual KH Husin Ali memang bagus-bagus.

“Ini ada barang. Harganya sekian. Kalau mau beli silakan. Untungnya untukku dan santunan kepada fakir miskin,” ujar Guru Syaifuddin, menirukan ucapan KH Husin Ali ketika menawarkan barang.

Ada banyak jumlah fakir miskin yang disantuni KH Husin Ali setiap bulan. Setelah wafat, fakir miskin tersebut pun diserahkan untuk disantuni kepada KH Seman Mulya. Dan ketika KH Seman Mulya wafat, para fakir miskin diserahkan kepada Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani.

“Di tangan Guru Zaini, jumlah (fakir-miskin) tersebut bertambah lima kali lipat. Tiap satu minggu sekali, beliau mengeluarkan dana Rp 1 miliar untuk 1.500 orang,” terang KH Syaifuddin.(Ben Syaifi)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->