Connect with us

Lifestyle

Swafoto di Lokasi Bencana, Simpati atau Cari Eksistensi?

Diterbitkan

pada

4 orang terlihat mengambil foto diri di dekat lokasi bencana tsunami yang menunjukkan kerusakan parah di belakangnya.

Perilaku orang-orang di jaman serba teknologi saat ini memang sudah banyak berubah. Perubahan itu, salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan teknologi juga. Teknologi tidak hanya sebatas alat yang mempermudah urusan manusia, namun juga mengubah cara hidup mereka hingga menyentuh ke akar nilai-nilai yang sebelumnya sudah tertanam di masyarakat. Misalnya pada fenomena masyarakat yang gemar berswafoto atau selfie di tempat-tempat tidak biasa, seperti tempat berbahaya, lokasi kecelakaan, bahkan lokasi bencana seperti yang baru-baru ini terjadi di Banten.

Selfie di lokasi tsunami

Seorang perempuan muda mengambil swafoto di lokasi bencana tsunami, di Banten. Foto : The Guardian

Sejumlah masyarakat tertangkap kamera tengah mengambil swafoto bersama dengan rekan lainnya di lokasi bencana tsunami yang masih porak-poranda. Kejadian ini bahkan diberitakan oleh sebuah media internasional asal Inggris, The Guardian, dengan mengangkat judul “Disaster gets more likes: Indonesia’s tsunami  selfie-seekers”. Berita itu menyebutkan, ada dari mereka, yang jauh-jauh datang dari Cilegon, bahkan Jakarta, hanya untuk mengunjungi lokasi bencana secara langsung dan mengambil gambar diri. Salah seorang pelaku swafoto, mengaku foto diri yang ia ambil bersama teman-temannya untuk diunggah ke akun Facebook miliknya. Foto itu kemudian dijadikan bukti bahwa mereka benar sudah mengunjungi lokasi bencana dan menyalurkan bantuan donatur kepada para pengungsi.
Selain itu, menurut dia, foto dengan latar belakang lokasi bencana yang hancur akan mendapatkan “likes” lebih banyak dari pengguna media sosial, karena mungkin memngingatkan masyarakat untuk lebih bersyukur karena ada di tempat yang lebih baik. Ada pula, pemburu selfie yang berkeliling lokasi selama 30 menit guna mencari posisi terdekat dengan titik kerusakan parah. Misalnya, orang itu mendekati posisi mobil yang rusak akibat sapuan ombak. Hal ini pun sangat disayangkan oleh masyarakat setempat yang menjadi terdampak. Mereka mengaku kecewa dengan banyaknya pengunjung yang datang berfoto-foto dakam kondisi bencana, sementara masih banyak masyarakat setempat yang dirundung duka.

Pendapat psikolog

Memandang fenomena ini, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof Drs Koentjoro MBSc PhD menyatakan, ada dampak yang telah ditimbulkan dari kebiasaan masyarakat berswafoto ria. “Selfie adalah bahasa lain dari ‘ngomong’. Dengan ngomong eksistensi kita diakui. Dengan ‘ngomong’ orang tahu siapa saya. Selfie telah mengubah perilaku manusia,” kata Koentjoro. Masyarakat, menurut dia, tidak lagi terlalu memedulikan kondisi sekitar, karena yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan momen yang mungkin tidak akan mereka temui untuk kedua kalinya. “Momen menjadi penting. Setiap kali ada momen orang selfie. Bahkan momen itu dicari dan diciptakan, sehingga nyawa menjadi taruhannya,” kata Koentjoro. Kawasan Banten yang berdekatan dengan Selat Sunda hingga saat ini masih belum aman untuk dikunjungi. Bahkan, masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut diimbau untuk ada di radius aman yang telah ditentukan. Terlebih, saat ini status Gunung Anak Krakatau sudah ada di level Siaga III. Hal ini menunjukkan betapa wilayah terdampak kemarin tidak semestinya dijadikan destinasi kunjungan untuk mengambil gambar diri.

Kecenderungan orang-orang untuk mengambil foto di lokasi-lokasi berbahaya atau kurang aman, menurut Koentjoro memunculkan wahana-wahana baru. Melalui wahana-wahana itu, masyarakat bisa mendapatkan gambar dari posisi yang tidak biasa, setidaknya dari posisi yang lebih aman. “Lihat kasus meninggal jatuh di kawah Merapi.  Dibuatlah panggung untuk selfie,” ujarnya. Munculnya fenomena-fenomena yang terkesan menggambarkan sikap antipati ini memang baru muncul belakangan ini, setelah gadget dan media sosial begitu dekat dengan kehidupan manusia. “Ya keduanya muncul dalam saat yang nyaris bersamaan, yang dulu tidak dilakukan bahkan dulu malu melakukan,” ucap Koentjoro. (kmps)

Reporter:Kmps
Editor:KK


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->