Connect with us

Kanal

Pesan Simbolik dalam Tradisi Mandi Tujuh Bulanan

Diterbitkan

pada


BANJARBARU, Tradisi, senantiasa menyampaikan pesan secara simbolik. Ia menuturkan kearifan dengan bahasa tindakan lewat gerak, irama, upacara, hingga benda-benda di sekeliling. Begitu pun tradisi mandi tujuh bulanan yang kerap dilakukan masyarakat Banjar.

Konon tradisi ini sudah turun-temurun dilaksanakan. Menurut Saniah (75), yang berprofesi sebagai juru mandi saat upacara tujuh bulanan, adat budaya itu bisa lestari sampai saat ini karena nilai luhur yang dipesankan. Apalagi juga disertai doa-doa yang dipanjatkan secara khusus demi keselamatan sang ibu dan bayi di kandungan.

Biasanya, dalam ritual mandi tujuh bulanan tersebut pihak keluarga dari wanita yang mempersiapkan berbagai perlengkapan. Mulai pakaian serba baru yang akan dikenakan usai mandi hingga berbagai makanan yang wajib ada.

“Makanan yang harus disediakan di antaranya ketupat, nasi lamak, kakoleh habang, kakoleh putih, bubur habang, bubur putih, cucur, lamang, nasi kuning intalu, cincin, nyiur anum. Itu wajib sudah seasalan kada tatinggal, nyiur anum tu sebagai pambarasihnya. Itu ada dari asal urang bahari dan wajib lengkap,” jelas Saniah.

Kata Saniah, ketika terdengar suara adzan yang kedua pada hari Jumat, perempuan yang akan dimandikan sudah harus diturunkan untuk menjalani prosesi. Saat penyiraman pun, doa-doa juga dibacakan demi kesehatan bayi dan ibunya.

Perempuan yang menjalani prosesi mandi tujuh bulanan akan dimandikan juga bersama satu biji kelapa tua yang memiliki pucuk. Kelapa tua tersebut beberapa hari sebelumnya didiamkan kemudian disiram agar pucuknya tumbuh. Apabila pucuknya sudah tumbuh, kelapa tersebut kemudian dibungkus menggunakan kain kuning. Dan akan dibuka ketika mandi.

Konon, kelapa tua tersebut berfungsi sebagai pengganti anak yang sedang dikandung. Sehingga ikut dimandikan bersama. Ketika itu, beberapa proses juga dilakukan seperti memberi lulur tradisional untuk membersihkan juga mengharumkan badan wanita yang sedang mengandung.

“Jika sudah diberi lulur, kemudian dibilas. Langkah selanjutnya yaitu memandikan wanita dengan bunga mayang yang masih muda. Bertujuan untuk proses lahiran yang mulus juga tidak ada kendala nantinya, bemayang beharum-harum, ditampung tawari, dirabun lawan minyak likat baboreh,” tuturnya.

Prosesi mandi tujuh bulanan yang dilakukan untuk mendoakan keselamatan ibu dan bayi yang dikandung.

Setelahnya, lanjut Saniah, ada juga mayang muda yang masih berkelopak. Kelopak tersebut kemudian dipukul menggunakan tangan hingga terbelah (tidak boleh dibelah pakai pisau), kemudian diangkat di atas kepala wanita mengandung untuk dialirkan airnya melalui kelopak. Air tersebut merupakan air yang sebelumnya sudah dibacakan oleh orang alim, juga air yasin, serta air kelapa yang.

Ketika air-air tersebut disiramkan, wanita diminta untuk meminum air yang mengalir dari atas kepalanya. Bertujuan agar anak yang dikandung juga ikut meminum apa yang ibunya minum sehingga anak tersebut juga ikut mendoakan keselamatan ibunya.

“Jadi anak yang didalam kandungan barasih inya, umpat jua inya bedoa. Selain itu, sarung yang dipakai sebagai tilasan ketika mandi, setelah selesai dilangkahkan untuk wanita tersebut dan itu tujuannya juga untuk meluluskan bayi yang di dalam perut,” jelasnya.

Demikianlah tradisi, warisan kebijaksanaan yang harus terus dijaga dan dilestarikan karena pesan moralnya.***


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->