Connect with us

Kota Banjarbaru

Nonton Bareng ‘Janur Kuning’, Ikhtiar Sederhana Mencintai Indonesia

Diterbitkan

pada

Warga perumahan nobar film Janur Kuning yang digelar PD AMG Banjarbaru Foto: istimewa

BANJARBARU, Sebuah layar putih membentang di tengah jalan kompleks perumahan. Satu pengeras suara ukuran sedang, sepertinya cukup mengantarkan dialog percakapan adegan film yang gambarnya agak buram tersebut. Selebihnya, adalah hamparan terpal untuk duduk, air mineral, dan jajanan ringan sekadar untuk pencair suasana dan obrolan.

Selepas Isya’ pukul 20.15 Wita, Jumat (5/10), warga di Kompleks Nusantara Griya Permai, RT 49, RW 05, Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, sudah mendatangi lokasi nonton bareng di depan rumah Ketua RT. Beberapa anak yang kebetulan tinggal di dekat lokasi, memanfaatkan ‘privilege’ dengan membawa bantal dan guling agar bisa menikmati film lebih nyaman.

Saya sendiri sanksi, bocah-bocah itu mengerti apa yang sedang ditontonnya. Kecuali adegan tembak-tembakan sebagai pertempuran yang mereka pahami dari referensi pertarungan dalam Mobile Legend di HP mereka. Sebab kenyataannya, apa yang sedang ditonton malam itu adalah film jadul “Janur Kuning” yang dibikin 39 tahun lalu!

Ya, Janur Kuning ini memang menjadi salah satu film ikonik sejarah kemerdekaan Indonesia. Selain film Serangan Fajar (1981), Pasukan Berani Mati (1982), Komando Samber Nyawa (1985), Soerabaia 45 (1990), maupun film sebelumnya seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1974).

Dibandingkan film-film tersebut, Janur Kuning memang tergolong lebih wah. Lebih spektakuler. Karena melibatkan ribuan figuran, panser, tank, hingga pesawat terbang. Tak heran di zamannya, Janur Kuning menjadi salah satu film dengan biaya produksinya cukup mahal hingga mencapai Rp 350 juta!

Iwan Setiawan, Ketua AMPG Banjarbaru yang menggagas acara ini, mempertimbangkan beberapa hal tersebut sebelum memutuskan memutar yang disutradarai Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja ini. “Sebenarnya ada bebarpa pilihan yang diberikan oleh teman, tetapi saya akhirnya memilih Janur Kuning saja. Sebab film ini katanya dibuat dengan anggaran sangat besar di masanya,” kata dia.

Ditambah lagi—dan mungkin ini yang lebih menentukan, karena Iwan sendiri mengaku belum pernah menonton film Janur Kuning sebelumnya. “Saya belum menonton film ini,” ungkap Iwan yang juga selaku Ketua RT 49 ini.

Nah, setelah acara sambutan sekadarnya, dimulailah acara nonton bareng…

Film dibuka dengan adegan iring-iringan tentara menandu Panglima Besar Soedirman. Sang jenderal akhirnya mau kembali ke Yogyakarta setelah sempat ragu akan tindakan Belanda yang berkali-kali melanggar perjanjian dengan Indonesia. Seorang perwira muda meyakinkan Soedirman. Ia tak lain Letkol Soeharto, Komandan Brigade X sekaligus Komandan Wehrkreise III.

Setibanya di tujuan, Jenderal Soedirman pun memeriksa pasukan. Saat itu pula, ingatan Letkol Soeharto melayang secara flash back saat Agresi Militer Belanda II berlangsung. Pesawat tempur Belanda meraung-raung di atas langit Yogyakarta membombardir lapangan udara Maguwo.

Pada adegan-adegan berikutnya, film lebih banyak menceritakan soal peran Soeharto bergerilya dan memimpin serangan umum 1 Maret. Dominannya sosok Soeharto (yang diperankan Kaharuddin Syah), memang dianggap sejumlah kritikus menjadikan film ini tak ubahnya hanya pencitraan mantan Presiden yang berkuasa 32 tahun tersebut.

“Film itu tidak obyektif. Peran Soeharto terlalu ditonjolkan. Film itu hanya berisi bagaimana sosok Soeharto yang begitu teguh. Berjuang sekuat tenaga, dan sebagainya. Sosok lain dikecilkan dalam film ini,” ujar sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam dalam sebuah wawancara terkait film Janur Kuning.

Asvi mengatakan, peran Sultan Hamengkubuwono IX hampir tidak terlihat dalam film ini. Padahal saat itu Sultan punya empat fungsi. “Sultan pada saat itu juga sebagai Gubernur, Sultan Yogya, Menteri Pertahanan dan diplomat yang dipercaya melakukan perundingan. Jadi bukan Soeharto,” kata Asvi.

Terlepas kontroversi dominannya peran Soeharto dalam film berdurasi 180 menit ini, ada satu hal sederhana ingin diambil Iwan Setiawan, —dan mungkin juga puluhan warga kompleks yang ikut nonton bareng, yakni usaha untuk merawat kecintaan pada Indonesia!

“Kita gelar nonton bareng film perjuangan, untuk memperingati hari-hari penting di bulan Oktober ini. Di antaranya Hari Kesaktian Pancasila, Hari Ulang Tahun TNI, dan nanti juga ada Hari Sumpah Pemuda. Nonton bareng ini agar kita bisa mengenal sejarah bangsa Indonesia,” kata Iwan.

Di sinilah, saya melihat semangat. Satu ikhtiar, untuk untuk menumbuhkan kecintaan pada Indonesia dengan cara lebih lugas. Mekipun banyak warga yang tak melihat sampai akhir karena durasi film yang cukup panjang. Tapi setidaknya, wacana tentang nasionalisme tidak semata cuma pantas disandingkan dengan retorika pejabat, aparat TNI, Polri, atau akademisi melalui upacara, seminar, atau pun naik panser di jalanan kota!

Tapi, hal serupa juga bisa dilakukan orang biasa dengan cara yang lebih santai. Nonton bareng film perjuangan sembari lesehan di atas terpal, maupun jongkok di pojokan sembari menghisap rokok sekadar untuk mengusir nyamuk.(cel)

Reporter: Cel
Editor: Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->