HEADLINE
Nestapa Batubara di Konsesi PT Merge Mining Industri
KANALKALIMANTAN.COM, MARTAPURA – Derita hidup warga di areal pertambangan batubara menjadi ironi yang terjadi di banyak tempat. Dan, cerita dari Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, akan menambah panjang rentetan kisah kelam itu.
Begitu kompleks. Warga yang tinggal di ring satu pertambangan batubara dipaksa menanggung berbagai dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan. Deru bising suara mesin berat, debu, krisis air bersih, hingga masalah Kesehatan. Belum lagi keberadaan tanggul bercampur limbah yang suatu saat beresiko bocor. Bak mimpi buruk yang terus menghantui ketenangan mereka setiap hari.
Di sisi lain, secara psikis mereka harus menghadapi tekanan dugaan kasus penganiayaan, yang dilakukan oleh petugas keamanan terhadap ‘Orang Dengan Gangguan Jiwa’, yang tak kunjung jelas penanganan kasusnya.
Menghadapi berbagai permasalahan ini, mereka bukannya tanpa perlawanan! Tapi seperti sepenggal Sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra, perlawanan itu ‘membentur meja kekuasaan yang macet’.
Segala cara dilakukan agar tuntutan didengar hingga ke pemerintah daerah, termasuk menggelar aksi damai di lingkungan PT Merge Mining Industri (MMI). Tapi, ujung-ujungnya mereka malah dilaporkan ke Polisi.
***
Mariadi berjalan cepat ke arah dapur memperlihatkan retakan-retakan dinding beton, di dalam rumahnya. Sambil berdiri pada permukaan lantai yang menyembul ke atas akibat pondasi yang tidak lagi mampu menahan beban.
Dia juga mengeluhkan bising dan getaran mesin pencuci batubara yang tak mengenal waktu. Siang maupun malam. Frekuensinya bahkan mampu mengguncang bagian kaca, jendela, dan atap seng, secara langsung. Menurut Mariadi, kerusakan yang terjadi adalah dampak aktivitas pertambangan batubara, yang berlokasi tidak lebih dari 500 meter dari tempat tinggalnya.
“Ini retak, itu retak. Baru saja sekitar tiga bulanan, inikan akibat dari pembasuhan (batubara), soalnya bergetar,” ujarnya.
Hal sama dialami pasangan Paryun dan Mastinah, yang rumahnya hanya berjarak selemparan batu dari tempat tinggal Mariadi. Lantai pada ruang tamu, kondisinya jauh lebih parah, dengan bukaan patahan memanjang, sekitar tiga hingga 5 mm. Ada juga bagian pojokan amblas, yang dia ditutupi kasur agar tak terlihat.
Berjalan ke bagian belakang pekarangan yang ditanami karet dan sedikit jati, beberapa di antaranya juga sudah layu dan mengering. Menurut Mastinah, ketinggian permukaan lahan miliknya lebih rendah, dibanding timbunan gundukan milik PT MMI yang mengelilinginya. Akibatnya, bila hujan tiba, air akan tergenang dan lambat meresap ke dalam tanah.
“Pohon-pohon mati, mana perusahaan tidak ada tanggung jawabnya,” keluh Mastinah.
Masih di lingkungan RT 04, RW 02 Desa Rantau Bakula, kondisi tidak jauh berbeda terjadi di rumah Rudy. Dinding retak di bagian dapur.
“WC-nya juga retak ini.”
“Tidak sampai setengah tahun kan ya, bangunannya?” tanya Rudy kepada istrinya.
“Bulan tiga! (Maret)” balas istrinya sambil memperhatikan bayi kecilnya.
Bagaimana kondisi sang bayi, jika seperangkat alat pencuci energi fosil hitam yang diprotes warga itu dinyalakan?
“Tidak bisa tidur dia, tapi tidak menangis,” kata istrinya menjawab pertanyaan Kanalkalimantan.
“Paling tengah malam saat bising,” sambungnya.
Hidup di lingkungan perusahaan pertambangan batubara, membuat sebagian masyarakat Desa Rantau Bakula tidak lagi nyaman. Selain bising dan getaran yang mengakibatkan rumah rusak, perkara lain adalah pemenuhan kebutuhan dasar, seperti kian sulitnya mendapatkan sumber air bersih.
Terang saja, jika mengamati wilayah desa ini melalui citra satelit, tidak ada satupun tampungan sungai alami yang layak digunakan warga. Rata-rata airnya berwarna keruh kecoklatan.
Pada bagian sebelah utara hingga barat contohnya, terlihat kondisi gersang akibat kerusakan hutan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Sementara itu, pada bagian timur, mengarah ke selatan, di konsesi perusahaan tambang yang berbeda, terdapat empat lubang tambang besar yang masih menganga, aliran airnya mengarah ke sungai besar.
Jauh dari layanan sambungan pipa perusahan air minum daerah, untuk kebutuhan sehari-hari, warga terpaksa membeli air bersih di tempat pengisian ulang. Adapun air yang digunakan untuk mencuci dan mandi, mereka dapatkan dari air yang disalurkan oleh PT MMI, berasal dari kanal kecil dan embung di dalam perusahaan.
Kondisi air yang disalurkan gratis ke rumah-rumah warga itu, jika dilihat dalam drum, fisiknya keruh kecoklatan. Jika dipakai mandi, kata mereka, badan terasa licin. Begitu juga saat airnya dicicipi dengan berkumur dan ditelan, rasanya sedikit kelat, meninggalkan sensasi kesat pada bagian gigi atas dan bawah, saat digesekkan.
Total ada sekitar 28 kepala keluarga di RT 04, RW 02 Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, yang memprotes aktivitas pertambangan. Mereka meminta rumah dan pekarangannya untuk dibebaskan. Jika itu terkabul, warga yang hidup di ring satu perusahaan akan pindah. Entah kemana.
Dianggap sulit diajak bernegosiasi, Selasa 16 April 2024, warga melalui kuasa hukum berikhtiar melayangkan surat somasi kepada pimpinan perusahaan di PT MMI.
Tiga hari surat pertama tidak mendapati jawaban, mereka kembali mengirim surat kedua yang berisi pesan akan menggelar aksi damai di lingkungan perusahaan.
Di sela waktu berjalan, informasi yang masuk ke telinga warga, jika surat pertama dibalas lisan, ada tawaran untuk duduk bersama antar perusahaan yang diwakili tim kuasa hukum untuk PT MMI. Menganggap ada itikad baik, rencana aksi ditunda.
Beberapa hari wacana bertemu antara kedua belah pihak kembali tak berkepastian. Warga melalui kuasa hukumnya, kembali melayangkan surat ketiga dengan berbagai tembusan, layaknya surat-surat sebelumnya, seperti ke Koramil, Kapolsek, Kapolres, Kantor Kecamatan Sungai Pinang juga Kantor Desa Rantau Bakula.
Puncaknya 3 Mei 2024, aksi damai terlaksana. Berlangsung sejak pagi hingga siang, lokasi dipilih persis di tengah jalan aset desa yang biasa digunakan untuk keluar-masuk, dari dan ke camp pintu gerbang pekerja tambang.
Dekat pos keamanan perusahaan batubara underground itu, warga juga mendirikan tenda bambu beratapkan terpal, sebagai tempat berteduh. Dijaga ketat TNI-Polri, demonstrasi berlangsung. Para pekerja tambang tidak diizinkan keluar, dengan alasan keamanan.
Sempat jeda waktu karena salat Jumat, sore harinya, demo warga ditanggapi perusahaan. Negosiasi berbuah enam poin kesepakatan yang ditandatangani atas kesaksian Kepala Desa, Camat Sungai Pinang, pihak perusahaan, dan tiga perwakilan masyarakat.
Namun, usai kesepakatan dibacakan di hadapan semua orang, surat salinan tidak pernah diberikan kepada warga.
“Itu sudah diketik oleh perusahaan, kami tiga orang sudah tanda tangan, tapi kami tidak dikasih copynya. Kami meminta, berbagai macam alasannya,” aku Mariadi.
Dilaporkan ke Polisi
Alih-alih mendapat salinan, pertengahan Mei 2024 sejumlah warga di RT 04, RW 02, Desa Rantau Bakula, malah menerima surat klarifikasi dan permintaan keterangan. Dilayangkan berkala oleh Polres Banjar, undangan diduga mengarah pada buntut aksi yang digelar pada saat itu.
“Pertama kali kami dipanggil, saya sama Rudy sebagai korlapnya. Pak RT sudah, Pembakal sudah juga, kurang jelas apa lagi,” keluh Mariadi.
Kuasa hukum warga, Noor Jannah menilai, para kliennya dilaporkan karena dianggap mengganggu aktivitas Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hingga akhir Juli lalu, sudah enam orang yang memenuhi panggilan polisi.
Dicecar sejumlah pertanyaan yang hampir sama, hingga 1 Agustus 2024, masih ada saja surat perihal undangan klarifikasi dan permintaan keterangan dilayangkan kepada warga.
JJ -sapaan akrab- Noor Jannah, yang juga turut mendampingi warga di kantor polisi, menjelaskan, tidak semua warga dapat hadir. Karena memiliki kesibukan, lagipula, jarak tempuh dari desa terlampau jauh ke pusat ibu kota Martapura.
Rute tercepat saja, jika dihitung pada aplikasi google map, warga harus berkendara kurang lebih 136 km, bolak-balik perjalanan dari Desa Rantau Bakula ke markas Polres Banjar.
Sebaliknya, dia menyayangkan warga yang terus dipanggil, padahal aksi damai yang berlangsung sudah dijaga dan mengantongi surat izin dari kepolisian.
“Sampai sekarang ini kami dilaporkan terus ke Polres, yang dilaporkan ini warga ya itu tadi katanya menutup pertambangan. Yang kami pertanyakan apakah menutup jalan hauling atau saat mereka kerja tambang? Kami melakukan aksi damai di muka gerbang dan itu jalan desa. Itu jalan bukan perusahaan yang buat,” tegasnya.
Dia menambahkan, latar belakang rentetan kasus yang terjadi di lingkungan PT MMI, ada juga salah satu warga yang dilaporkan secara individu. Adalah Sumardi yang diduga melakukan tindak pidana pengancaman terhadap Shaohua Huang, pelapor, berkewarganegaraan China.
Dalam laporan polisi yang dibuat di Polres Banjar, uraian singkatan insiden ini terjadi pada 29 April 2024, sekitar pukul 08.30 Wita.
Pelapor yang siangnya melakukan arahan kepada Operator Excavator untuk kegiatan land clearing di lahan milik PT MMI, tiba-tiba didatangi Sumardi warga Desa Rantau Bakula, yang melihat tanaman singkongnya habis di sapu alat berat, dia kecewa karena sebelumnya belum ada koordinasi.
Dengan emosi, Sumardi meminta penggantian kebun singkong yang dibabat habis, sambil tangan kirinya memegang kerah baju pelapor dan di tangan kanan memegang senjata tajam jenis parang.
Selanjutnya, tertulis di surat laporan polisi itu, pelapor hanya bisa menyampaikan untuk tenang dan suatu saat nanti, permasalahan pergantian kebun singkong milik terlapor akan disampaikan ke pimpinan perusahaan.
Diketahui total sebanyak 3.000 tanaman singkong dan 47 pohon pisang yang ditanam Suhardi itu habis di bouldozer.
Berselang sehari kejadian, Selasa 30 April 2024, tanpa sepengetahuan keluarga, Sumardi dilaporkan ke Polres Banjar sekitar pukul 18.45 Wita. Dan di hari yang sama pada malamnya, perwakilan perusahaan mendatangi rumah petani tersebut, sembari melakukan membayarkan sejumlah kerugian tanaman.
“Di rumah terlapor, dihadiri beberapa orang dari pihak H Deni (perusahaan). Dibayarkan sebesar kurang lebih Rp3 juta. Pertanyaannya lebih duluan perusakan ketimbang pembayaran,” katanya.
“Jadi mau lapor balik, menurut penyidik tidak bisa, apa yang mau dilapor balik?. Kami mau minta ketemu sama Mr Huang, malah tidak bisa dipertemukan,” imbuhnya.
Setahu JJ, saat ini Sumardi sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan status tahanan kota. Penangguhan penahanan diajukan dengan alasan usia yang sudah mendekati 70 tahun, serta kondisi kesehatan kliennya yang semakin memprihatinkan.
***
Surat Tanda Terima Laporan Polisi dari Polsek Sungai Pinang, Kabupaten Banjar dengan dugaan tindak pidana penganiayaan itu masih disimpan Sarto (65). Anak laki-lakinya, Sugiarto (30) orang dengan gangguan jiwa, diduga menjadi korban pemukulan oleh petugas Security yang bekerja di lingkungan perusahaan PT Merge Mining Industri (PT MMI).
Dengan nada sedikit emosional, ayah empat orang anak tersebut bercerita dengan detail, bagaimana peristiwa di hari itu terjadi.
Menjelang senja, saat dia dan istri yang tengah duduk santai di pelataran, menyaksikan Sugik -sapaan akrab Sugiarto- tiba-tiba memanjat pagar perusahaan milik PT MMI, kemudian berjalan jauh memasuki kawasan pertambangan.
Istri Sarto yang panik melihat anaknya berada di area pertambangan dan semakin mengarah masuk terowongan, bergegas melapor ke petugas keamanan yang berjaga, sembari meminta tolong untuk membujuk Sugik keluar.
Singkatnya, lelaki yang mengalami gangguan jiwa sejak SMP itu, berhasil dibawa keluar dan dipulangkan ke rumah. Sesaat situasi mulai tenang, sesuai mandi, dengan hati yang masih kesal, Sugik kembali berulah untuk kali kedua.
Dia mendatangi sekumpulan security di lingkungan perusahaan yang tidak jauh dari rumahnya, sambil membawa sebatang kayu di tangan.
“Sugik di dalam terowongan diduga sudah dianiaya, sudah disekap. Mungkin ada dendam atau bagaimana Sugik, lalu balik lagi,” duganya.
Sarto, yang melihat anaknya setengah berlari menuju pos keamanan juga berusaha menghalangi sambil berucap, “Biar aku saja yang mengurus Sugik!” tegasnya kepada para security.
Begitu kayu berhasil diamankan dan anaknya dibawa pulang, di halaman rumah, tiba-tiba empat orang security kembali mengejar dan salah satunya menghantam secara bertubi-tubi.
Sarto yang berusaha melerai, melihat anaknya dipukuli hanya bisa pasrah karena mengaku dihalang-halangi oleh petugas.
“Sugik disepak, ditendang, ditempeleng. Aku mau menolong tidak bisa, karena ditahan oleh security yang lain,” tuturnya.
Tidak terima si bungsu luka-luka, pada bagian pipi sebelah kiri, tangan, kaki, serta patah pada gigi bagian depan, Sarto bersama Romlan -kakak dari Sugik-, melapor ke Polsek Sungai Pinang pada Rabu malam.
Sementara Sugik, yang kondisi kejiwaannya akhir-akhir itu sering didapati kambuh, beberapa hari kemudian dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum di Banjarbaru, untuk menjalani diperiksa dan perawatan selama kurang lebih dua minggu.
“Waktu itu, ada beberapa minggu kemudian aku dipanggil ke Polres Banjar di minta damai. Istilahnya karena anakku sudah kenapa-kenapa aku ya minta ganti rugi, ternyata itu tidak sesuai mau memberinya itu, ya tidak diterima,” ungkapnya.
Hingga pertengahan Agustus, pasca kasus dilaporkan pada 5 Juli 2024 lalu, Sarto dan keluarga mengaku masih belum mendapatkan kepastian hukum.
Romlan mendengar, perkembangan laporan sebelumnya yang sudah dilimpahkan ke Polres Banjar dikembalikan berkasnya ke Polsek Sungai Pinang dengan alasan, tindak pidana ringan.
Diketahui, pelaku penganiayaan yang menyebabkan luka-luka padahal dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 351 KUHP. Jika korbannya adalah ODGJ, tindakan dianggap lebih serius, karena ODGJ termasuk kelompok rentan yang dilindungi undang-undang.
Dikonfirmasi terkait sederet perkara di wilayah PT MMI, Kapolres Banjar AKBP Ifan Hariyat mengaku akan kembali mempelajari kembali surat pemanggilan yang dimaksud. Dia berpendapat jika setiap aksi damai memang dijaga dan difasilitasi oleh undang-undang, sehingga pada umumnya siapa saja diperbolehkan menyampaikan pendapat.
Aksi di hari itu, diakui dia memang sudah memenuhi prosedur dan mengantongi izin, dengan waktu tiga kali dua puluh empat jam, sebelum aksi benar-benar dilaksanakan.
“Mungkin saya cek dulu ya, tapi setahu saya aksi damai di Indonesia itu dijaga dan di fasilitasi oleh undang-undang maka boleh. Iya dijaga (TNI-Polri) nggak apa-apa secara normatifkan,” katanya.
Dia menggambarkan, suatu kewajaran bila perusahaan pemilik izin usaha pertambangan batubara melaporkan aksi jika merasa diganggu dan dirugikan oleh pihak-pihak terkait.
Terang Ifan, Polres Banjar melakukan pemanggilan kepada sejumlah warga hanya sebatas interogasi.
Ditanya kembali perkembangan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh security perusahaan, terhadap ODGJ, warga Desa Rantau Bakula, lulusan Akademi Kepolisian tahun 2003 ini menyampaikan jika terlapor atas nama pribadi.
Alasannya, yang bersangkutan tidak sedang berdinas di PT MMI dan kejadian di hari itu berlangsung di depan gerbang, bukannya di halaman rumah, seperti versi keluarga korban.
“Itu kalau saya dapat info dari MMI, itu di luar konteks MMI. Jadi security ini atas nama pribadi bukan MMI, memang pegawai MMI, tetapi dia tidak lagi dinas. Hanya seban ributnya di luar, jadi itu tidak ada sangkutnya,” ungkapnya.
Bagaimana prosesnya hingga sekarang?
“Saya cek dulu ya, yang jelas itu diatur dalam undang-undang ada jenisnya, sehingga untuk proses tergantung dari pelapor.”
“Di depan gerbang. Jadi si security itu keluar, berarti kasus bukan MMI kan gitu ya, karena kita harus melihat secara detail, jangan sampai semua pegawai di situ dia dianggap berbuat onar, MMI nya juga dibawa kan gitu,” lanjut Kapolres.
Disisi lain, ia meyakinkan, bukan berarti orang yang masih terlihat di tengah masyarakat, belum diproses secara hukum. Bisa jadi, yang bersangkutan sudah ditindak dan menerima ancaman pidana dibawah lima tahun, sehingga tidak dilakukan penahanan.
“Semua masyarakat siapapun itu manakala bermasalah dengan hukum silahkan dilaporkan, kami dengan semangat dan senang hati menerimanya,” Ifan menutup percakapan.
Tanggul Jebol di PKP2B Baramarta
Air limbah pencucian batubara bercampur partikel hitam dari settling pond milik PT Merge Mining Industri (MMI), mengalir deras pada Senin 8 Juli 2024 lalu. Tanggul tanah setinggi kurang lebih lima meter itu jebol dengan sendirinya, karena tidak lagi mampu menahan beban.
Sejumlah warga yang ribut mengetahui informasi di siang itu bergegas datang menuju lokasi. Mereka khawatir, jika dampaknya akan mengenai pemukiman, hingga menembus ke area perkebunan dan kanal di sekitarnya.
Menyaksikan bagaimana air limbah mengalir begitu deras, warga sempat mengabadikan moment melalui gawai. Mereka memprediksi, kejadian berlangsung sekitar pukul 14.00 hingga 17.00 Wita. Sebelum menyebar ke kanal-kanal dan lawan milik warga, dikatakan air limbah sebelumnya membanjiri jalan hauling, hingga mengakibatkan pengendara sepeda motor sementara waktu tidak dapat melintas.
Sambil memperhatikan ulang video yang sempat direkam, sejumlah warga yang kami temui memperkiraan, lebar bocoran settling pond itu, lebih dari tiga meter. Begitu, jika dihitung berdasar pada jumlah tumpukan karung putih yang sebelumnya digunakan untuk menutupi tanggul yang jebol sementara.
Seumpamanya, jika ukuran rata-rata karung berukuran sedang adalah 50 cm x 70 cm, maka diperkirakan lebar jebolnya settling pond tersebut lebih dari 50 sentimeter. Diduga kuat, tanggul jebol karena dibangun dari material lepas, sehingga membuatnya lebih rawan rusak.
Atas kejadian itu, dilaporkan sedikitnya delapan lahan perkebunan milik warga terdampak. Begitu yang sudah dicatat Muliadi, Ketua RT 04, RW 02 Desa Rantau Bakula.
Luas dari area itu kata dia jika digabung, diperkirakan satu hektar persegi yang terdiri dari kebun pisang, karet, serta tanaman rempah seperti kencur. Sebaran, belum termasuk tanah kosong milik masyarakat.
Saya diajak warga melihat langsung perkebunan pisang yang sebelumnya terdampak dan dialiri air limbah. Di antara semak-semak, masih nampak partikel-partikel kecil batubara yang ikut terbawa air, bertebaran di lahan perkebunan.
Terakhir, Muliadi mendatangi perusahaan untuk melakukan musyawarah pada 27 Juli dan 3 Agustus. Namun, mereka juga tidak berhasil bertemu dengan petinggi PT MMI, karena tidak ada yang berada di tempat.
Perkembangannya, hingga Selasa, 13 Agustus malam, ujar Muliadi, pihak manajemen belum memberikan tanggapan terkait permintaan pertanggungjawaban musibah tanggul jebol kepada warga.
“Kami sudah tiga kali menanyakan kelanjutan, tapi belum ada jawaban,” ujarnya.
Sebelumnya, warga yang tinggal di kawasan ring satu perusahaan juga menepis anggapan yang mengatakan, jika di hari kejadian, terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi, hingga menjadi biang kerok penyebab bocornya tanggul.
“itu tidak ada hujan sama sekali,” sejumlah warga meyakinkan.
Kami, menyanding data BMKG Stasiun Klimatologi Kalimantan Selatan (Kalsel), tentang Informasi Iklim Provinsi Kalsel antara tanggal 1 hingga 10 Juli menunjukkan, wilayah Kabupaten Banjar, hanya memiliki prediksi curah hujan rendah, mencapai 20 hingga 50 mm dengan peluang sebesar 30 hingga 70 persen.
Lebih spesifik, di kawasan Kecamatan Sungai Pinang, Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG stasiun Klimatologi Kalsel, Wiji Cahyadi menyebut, jika turunnya hujan di tempat tersebut masih dengan kategori rendah.
“Sungai Pinang sendiri sifat hujannya normal seperti biasanya, dengan kategori rendah,” ujar Wiji kepada Ferdi Oetaya, melaporkan untuk Kanalkalimantan.
Sementara, jika melihat prakiraan cuaca di siang hari, saat kejadian tanggul jebol, pada Senin 8 Juli. Stasiun Meteorologi Banjarmasin merilis terjadinya hujan ringan di Kabupaten Banjar diperkirakan terjadi pada dini hari. Dengan suhu harian 24 hingga 33 Derajat Celcius dan persentase kelembaban 60 hingga 95 persen.
Di sisi lain, Kepala Bidang Penataan, Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Perumahan Kabupaten Banjar Hendra Mahyudi yang sebelumnya sudah melakukan pemeriksaan langsung pada saat tanggul batubara milik perusahaan PT Merge Mining Industri jebol mengatakan sudah membawa orang laboratorium ke lokasi.
Setiba di lokasi, pihak perusahaan sudah melakukan penutupan pada tanggul batubara yang jebol, beberapa hari setelah kejadian hingga airnya tidak lagi mengalir.
“Jebolnya tanggul batubara yang membuat air ditampung tersebut keluar lalu masuk ke dalam sungai itu tidak sampai satu hari dan ukuran jebolnya pada tanggul tersebut hanya sekitar 4 meteran saja,” bebernya.
Jelas Hendra, pihaknya sudah bertemu dengan orang perusahaan dan hasilnya mereka berkomitmen untuk memperkuat tanggul dalam dua hari. “Apa yang kami minta sudah dilakukan saat itu juga kami meminta untuk menambah tanggul keliling agar tambah kuat,” akunya.
Kemudian ketika ditanya apakah air yang keluar dari tanggul akibat jebol tersebut telah mencemari lingkungan sekitar, kata Hendra bahwa dari persoalan itu memang ada perkebunan warga mengalami kerusakan tetapi, apakah dampak dari tanggul bocor, pihaknya belum tahu pasti.
“Untuk masalah itu silahkan langsung datang ke dinas Lingkungan Hidup Provinsi karena mereka yang melakukan pengambilan sampel semuanya mulai dari kandungan disungai pertanian hingga sawah,” jelasnya.
Satu bulan pasca jebolnya tanggul milik PT MMI, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan yang sebelumnya diminta melakukan uji laboratorium. Saat ditanya hasilnya, Muhammad Darma, Kasi Pengaduan Kasus Lingkungan Hidup dan Gakkum, mengatakan bahwa seluruhnya sudah diserahkan kepada PT MMl.
Begitu juga saat diminta menjabarkan hasil temuan, ia enggan memberitahu lebih rinci, dengan alasan sekarang sedang ditindaklanjuti oleh bagian pengawasan.
“Datanya itu tidak disebar, punya negara itu,” tolak Darma saat dimintai rilis hasil uji laboratorium.
Menelisik lebih detail titik koordinat 3°10’19,17″S 115°16’21,68″T pada foto yang beredar saat jebolnya settling pond, hasil olah data kanal Kalimantan menemukan kolam penampungan yang digunakan untuk mengendapkan partikel padat dari air limbah tersebut, dibangun di luar batas peta Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT MMI.
Tepatnya, berada di dalam kawasan lahan konsesi izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari Perusahaan Daerah (PD) Baramarta.
PD Baramarta sendiri adalah perusahaan bentukan Pemerintah Kabupaten Banjar, yang bergerak di bidang usaha pertambangan batubara.
Mengantongi Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, perusahaan ini memiliki luasan 2.634,55 hektare dengan izin kegiatan operasi produksinya yang berakhir pada 13 Desember 2030.
Direktur Operasional PT Baramarta, Saidan Fahmi, tidak menampik jika di wilayah izin PKP2B perusahaan yang diembannya dan kawan-kawan, didapati settling pond atau kolam penampungan limbah pencucian batubara milik PT Merge Mining Industri (MMI).
Dia yang menjelaskan, dulu sekali, wilayah itu memang betul adalah bagian dari Baramarta, namun lantaran tidak memiliki teknologi untuk melakukan penambangan secara underground, perusahaan daerah menciutkan konsesinya.
“Jadi itu bukan milik kita lagi, dulu sekali, historisnya memang begitu, tapi sudah dilakukan penciutan” ujarnya.
Saidan, mengaku baru saja mengunjungi lokasi kejadian. Mantan anggota DPRD Banjar yang dilantik sebagai jajaran direksi pada 2 Agustus itu menyatakan protes, karena khawatir tanggung jawab atas jebolnya tanggul dilempar kepada PD Baramarta.
“Aku dapat info belakangan, kami komplain dengan MMI,” sebutnya.
Pertemuan antara kedua belah pihak perusahaan katanya sudah pernah dilakukan. Namun, karena terkendala bahasa, membuat sejumlah poin masih belum ada kesepakatan.
“Kita sempat beberapa kali dan mau menghubungi lagi pihak MMI itu, sempat mau menandatangani MoU, tapi orang di sana tidak bisa berbahasa Indonesia, sudah beberapa kali, dikarenakan kami komplain itu,” pungkasnya.
PT MMI Tak Menjawab
Menanggapi berbagai tudingan yang muncul di lingkungan perusahaan, PT MMI memilih bungkam hingga berita ini dipublikasi. KanalKalimantan.com melakukan berbagai upaya untuk mengonfirmasi terkait hal tersebut, termasuk mendatangi kantor PT MMI yang berada di Desa Rantau Bakula, menghubungi nomor orang-orang penting di perusahaan, serta mengirim surat permohonan wawancara, baik secara fisik maupun digital ke kantor induk PT MMI di Jakarta. Namun, hingga saat ini, mereka masih belum berkomentar.
Mengulik data terbuka terbitan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham). PT Merge Mining Industri (PT MMI) adalah perusahaan perseroan Penanaman Modal Asing (PMA) yang berkantor pusat di Jakarta.
Dipimpin oleh Yudha Ramon sebagai Direktur Utama, perusahaan ini memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLUI), yang mencakup operasi pertambangan dan pengeboran berbagai kualitas batubara, seperti antrasit, bituminous, dan sub-bituminous, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah.
Kegiatan operasional PT MMI meliputi penggalian, penghancuran, pencucian, pengeringan, pencampuran, serta pemadatan untuk meningkatkan kualitas atau memudahkan pengangkutan dan penyimpanan, termasuk pencarian batubara dari kumpulan tepung bara atau calm bank.
Memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Menteri ESDM dengan tahun berlaku sejak 16 Mei 2016 hingga November 2030, PT MMI memiliki luas sekitar 1.170,7 hektare.
MMI memiliki total 181.100 lembar saham senilai Rp18.110.000.000. Sebanyak 95 persen saham dimiliki oleh PT Merge Energy Sources Development dengan 172.045 lembar saham, sedangkan sisanya sebesar lima persen, atau 9.055 lembar saham, dimiliki oleh Prosper China Investments Limited.
Tenaga Kerja Asing
Kepala Bidang (Kabid) Tenaga Kerja Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjar Syahidi Amrullah menyebutkan dari 103 orang pekerja di PT MMI, 88 orang diantaranya adalah tenaga kerja asing dari China.
“Jadi warga negara asing yang bekerja pada PT Merge Mining hampir 90%-an,” akunya.
Dijelaskan Syahidi Amrullah prosedur tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia atau tepatnya Kabupaten Banjar, pertama pihak perusahaan harus melaporkan kepada kementerian yang menangani. Kemudian membuat Perencanaan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) lalu diproses pada deputi kemudian ketika selesai baru diarahkan kepada masing-masing daerah.
“Dalam aturan Permenaker Nomor 8 Tahun 2021, dimana RPTKA itu dibuat hanya khusus TKA saja, sementara yang dibebaskan dari RPTKA seperti lembaga pendidikan investor dan beberapa lainnya,” bebernya.
Syahidi Amrullah menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadi penipuan penyusupan tenaga asing yang bekerja di wilayah Kabupaten Banjar, mereka akan mendatangi pihak perusahaan untuk memberikan sosialisasi terkait masalah penggunaan tenaga asing, kemudian mencocokan data-data dari perusahaan dan kementerian.
“Data dari pusat kami cocokan dengan data dari perusahaan untuk mengetahui TKA yang bekerja di daerah kami meminta dokumen RPTKA dan surat izin tinggal sementar yang dikeluarkan oleh Dukcapil, kami juga sering melakukan monitoring untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan,” akunya.
Tidak hanya dengan cara itu, mereka juga tidak segan bekerja sama dengan tim pengawas tenaga kerja asing untuk mencegah terjadinya kecurangan perusahaan pada saat mendata TKA di perusahaan mereka.
“Biasanya kami akan bekerja sama dengan pihak Imigrasi lalu dengan Kejaksaan, BIN, Kesbangpol. Selama ini, Alhamdulillah tidak ada pernah ditemukan TKA gelap pada perusahaan, dan sesuai data dari perusahan yang mempekerjakan TKA, jika ada perusahaan mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan prosedur yang ada maka otomatis akan ditahan oleh pemerintah pusat,” jelasnya.
Ditanya apakah pernah ditemukan TKA yang bekerja pada perusahaan, tidak menggunakan dokumen sesuai dengan peruntukannya, misalnya TKA tersebut hanya menggunakan visa kunjungan, Syahidi Amrullah mengatakan sejauh ini tidak pernah ditemukan, jika pun ada pihaknya tidak bisa melakukan tindakan karena itu wewenang pusat.
Data yang disampaikan oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjar di atas kertas berbeda dengan Balai Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Kalimantan Selatan.
Jika sebelumnya tenaga kerja asing China di PT MMI mencapai 88 orang, tetapi kata Kepala Balai Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Kalimantan Selatan Taufik menyampaikan bahwa jumlahnya mencapai 98 orang.
“Kalau jumlah di tempat kami seperti itu,” singkatnya.
Wanti-wanti Walhi Kalsel
Terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) Kisworo Dwi Cahyono, mengetahui bahwa PT MMI, perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi secara underground.
Dia mempertanyakan transparansi perusahaan, terutama terkait sejauh mana mereka telah melakukan pemetaan dan aktivitas pertambangan di bawah tanah. Pikirnya itu penting diketahui oleh negara, sehingga dapat meminimalisir dan menepis tuduhan penyerobotan penambangan di luar izin konsesi.
“Jangan sampai izin hanya di empat desa, tetapi mereka menambang di bawah itu hingga ke lintas batasan mereka misalnya kan, jadi harus transparan, karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, ” sebutnya.
Sejumlah warga diketahui sudah merasakan dampak lingkungan karena debu, bising dan getaran yang dihasilkan akibat aktivitas batubara. Sehingga mengakibatkan rumah retak-retak, pintanya harus disikapi oleh daerah, termasuk pihak perusahaan itu sendiri.
Cak Kis -sapaan akrabnya- mempertanyakan keberadaan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang dibuat selama ini oleh perusahaan. Jika dokumen tersebut memang ada, ia meragukan bagaimana proses pembuatannya, khususnya apakah warga dilibatkan secara partisipatif.
“Kalau AMDAL itu benar-benar ada, seharusnya masalah ini tidak terjadi,” katanya.
Dia menyesalkan, dampak serius dari yang muncul dari aktivitas pertambangan dan sudah memicu protes warga yang kemudian diabaikan oleh perusahaan.
Akibatnya, warga menggelar aksi damai yang berakhir menjadi masalah, karena dilaporkan ke kepolisian, lantaran dianggap mengganggu aktivitas pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Saya juga mendesak Polres Banjar untuk setop tanda petik memanggil atau mengintimidasi atau hal-hal lain yang membuat konflik permasalahan lingkungan ini semakin runcing,” harapnya.
Belum lagi, kata dia, beberapa hari setelah aksi, musibah lain terjadi berupa jebolnya settling pond, yang menyebabkan air limbah pencucian batubara mengalir ke sejumlah lahan perkebunan milik warga.
Cak Kis meminta Gubernur, Kapolda, hingga DPR segera turun tangan dan selama masalah ini belum terselesaikan. Kisworo mendesak agar produksi PT MMI dihentikan sementara, serta meminta perusahaan memberikan kewajiban penyediaan air bersih bagi warga.
“Berdasarkan Undang-Undang Minerba, PT MMI seharusnya sudah memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan sebagai bentuk tanggung jawab lingkungan. Terlebih lagi, yang saya dengar hingga saat ini warga masih belum menerima ganti rugi,” tegasnya.
Masih tambah Cak Kis, terkait siapa yang bertanggung jawab atas jebolnya tanggul yang didirikan di luar izin konsesi PT MMI tetap adalah koorporasi. Dia juga lantas mempertanyakan kembali mengapa sampai settling pond itu dapat dibangun di lahan PD Baramarta. Padahal jika dilihat berdasarkan batas wilayah bangunan itu berada di luar pemilik IUP.
Dia menekankan pentingnya menelusuri detail izin yang dimiliki PT MMI, apakah perusahaan tersebut menyewa atau membeli lahan di sekitarnya. Namun, jika tidak ada perjanjian tertulis yang sah, dia memprediksi bahwa hal tersebut sudah merupakan pelanggaran hukum.
“Seharusnya PD Baramarta, sebagai salah badan usaha milik daerah Kabupaten Banjar, dapat memberikan contoh yang baik, termasuk dalam hal kehati-hatian secara hukum. Jika tidak, kasus seperti ini berpotensi terulang di konflik di daerah lain,” pungkasnya.
Kawasan RT 2 yang Ditinggalkan
Konflik antara warga dan perusahaan batubara di kawasan konsesi PT MMI, sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Dulu, pada 2017 yang lalu, satu RT di Desa Rantau Bakula, tiba-tiba ambruk akibat tanah di bagian bawahnya sudah kosong melompong. Akibatnya sama, dari aktivitas pertambangan batubara yang diambil dengan menggunakan sistem underground.
Saya dituntun warga berboncengan menggunakan kendaraan bermotor untuk ikut melihat kondisi terkini bagian ujung sebelah timur Kecamatan Sungai Pinang tersebut. Saat memasuki kawasan RT 2 Desa Rantau Bakula kesan pertama pada kiri dan kanan jalan setapak yang dilalui rimbun, ditumbuhi pohon-pohon dan semak belukar.
Rumah-rumah yang kebanyakan dibangun dari kayu, berselang seling renggang dan sebagian sudah ditinggalkan penghuninya, meski ada sebagian rumah yang masih dipasangi listrik masih ditinggali.
Agak masuk ke dalam, setelah melewati jalan yang dicor beton kami singgah di depan tempat ibadah umat muslim. Kata warga, dulunya masjid itu digunakan untuk beribadah, setidaknya seminggu sekali saat salat Jumat. Namun kini, kondisinya sudah banyak ditumbuhi semak belukar, mengelilingi hampir seperempat bangunan.
Melihat pintu masjid yang sedikit terbuka, Kanalkalimantan.com mencoba masuk mendorong pintu dengan tenaga sedikit ekstra, karena kondisi engselnya sudah berkarat. Di bagian dalam, tembok dinding terlihat retak-retak, begitu juga bagian lantainya yang dipasangi keramik, tak lagi terurus. Kusam oleh kotoran kelelawar.
Begitu keluar dari bangunan masjid, Gito (61) dan istrinya yang tengah asik menggembala sapi melintas, sambil bertanya-tanya kepada sejumlah warga yang mendampingi kehadiran kami. Mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Rupanya pasangan suami istri itu adalah warga transmigrasi yang sudah sedari tahun 90-an tinggal dan bertahan di daerah itu. Setelah berjalan sejauh 20 meter ke ujung jalan, kami diajak melihat kondisi rumahnya yang hingga kini belum mendapat ganti rugi dari PT MMI, meskipun sudah hampir 7 tahun berlalu sejak permukaan tanah alami penurunan.
Jika digambarkan, rumah kayu pasangan Gito, lantainya terlihat miring tidak beraturan, bagian bawah pada setiap sudut pondasi.dipasang pasak potongan kayu dan batu berukuran besar sebagai penopangnya. Sementara kaki-kaki lainnya, ada yang dibiarkan menggantung begitu saja.
“Ini sudah dua kali aku mengganjal, tadinya ini anjlok begitu,” sebut Gito.
Dia menerangkan, jika kondisi di bawah tanah bangunan rumahnya itu sudah berlobang bak terowongan, bekas galian tambang. Sehingga bangunan di atasnya bergantung pada kondisi di bawah tanah.
Mereka kemudian mengajak saya untuk melihat-lihat sumur yang sebelumnya digunakan sebagai sumber air bersih. Begitu lobang yang ditutupi seng itu dibuka, pada bagian dasarnya hanya ada tanah lembab yang dijatuhi daun-daun kering dari pohon-pohon karet yang ditanam di sekitar pekarangan.
“Sumurnya ya kering, air minum sekarang ya beli,” ujarnya.
Setahu Gito sampai sekarang masih ada tiga buah rumah yang belum dilakukan pembayaran ganti rugi hingga saat ini, sisanya sudah dibayarkan, namun masih setengah dari nilai yang sudah dijanjikan. “Rumah dan tanah ini belum dibayar sama sekali,” kata sang istri menimpali.
Mereka berharap, agar permasalahan ini segeranya selesai ditangani, sehingga mereka dapat pindah ketempat yang lebih layak.
***
Baik konflik warga di kawasan ring satu perusahaan pertambangan batubara dan ambruknya rumah warga di RT 2 setelah 7 tahun adalah dampak langsung yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan batubara PT MMI di wilayah Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang.
Hingga saat ini, mereka masih berjuang untuk hidup layak di tanah sendiri. Pernah suatu ketika mereka dikontak orang yang mengaku dari DPRD dan berjanji untuk datang ke lokasi, namun hingga kini, hanya angin lalu!. (Kanalkalimantan.com/rdy/fo)
Reporter: Tim
Editor: Cell
-
PLN UIP3B KALIMANTAN3 hari yang lalu
Banjir Peminat, Waktu Pendaftaran PLN Journalist Award 2024 Diperpanjang Hingga 14 November 2024
-
Lifestyle3 hari yang lalu
Kirim Uang ke LN Lewat BRImo Bisa Dapat Hadiah Menarik Setiap Bulan, Mau?
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Sidang Praperadilan Sahbirin Noor Sampaikan Sembilan Petitum
-
Kota Banjarbaru2 hari yang lalu
BREAKING NEWS: Lelaki di Landasan Ulin Barat Tak Bernyawa Dalam Kontrakan
-
PLN UIP3B KALIMANTAN2 hari yang lalu
PLN UPT Palangkaraya Beri Penghargaan kepada Veteran
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Cari Keberadaan Paman Birin, KPK Periksa 5 Saksi