Connect with us

HEADLINE

Dalam Satu Dekade, Terjadi Sebanyak 30 Konflik Lahan di Kalsel


Menariknya, dari catatan Walhi, konflik yang terjadi memiliki pola, pelaku, dan korban yang sama dan terus berulang


Diterbitkan

pada

Berbagai kasus lahan terjadi di Kalsel dengan pola, pelaku, dan korban yang sama. Foto: Devi

Adapun kasus yang telah lama dan masih belum di selesaikan hingga saat ini  yaitu penggusuran desa Wonorejo, Balangan oleh PT Adaro. Salah satu korbannya adalah Bambang yang merupakan warga transmigran pada tahun 1989. Dia merasakan dampak perusakan yang dilakukan pertambangan di wilayah kelola di Paringin.

Menurut Kisworo, ada beberapa orang atau oknum tertentu yang tak bertanggung jawab menjadi makelar tanah yang merupakan hak warga Wonorejo. “Hingga saat ini ada kurang lebih 53 sertifikat yang tidak jelas bagaimana masa depannya, dan yang memiliki sertifikat hak milik ada 3 orang termasuk Bambang,” jelasnya.

Terkait berbagai kasus tanah ini, Walhi berharap penanganannya bisa dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang melibatkan berbagai pihak. Selain melibatkan masyarakat, tak kalah pentingnya juga mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah.

“Lembaga ini tentunya harus bekerja dengan serius menangani konflik yang terjadi.  Namun lembaga ini dibentuk saat konflik itu sudah terjadi,” ungkap Kisworo.

Salah satu resolusi konflik yang ditawarkan oleh pemerinah adalah reformasi agraria.  Menurut Kisworo, skema ini menjadi jawaban konflik yang sudah ada. Skema ini mencegah terjadinya konflikyang terjadi akibat ketimpangan struktur agraria.

Ada 12,7 juta hektare kawasan hutan yang akan diberikan akses legal kepada masyarakat. Dan ada 9 juta hektare tanah negara. Di Kalsel sendiri, wilayah yang di alokasikan untuk masyarakat masih ada tumpang tindih dengan izin onsesi bagi perusahaan. “Ada 38.643 hektare area perhutanan sosial yang tumpang tindih dengan izin pertambangan dan 38.924 hektare area perhutanan sosial dalam izin pertambangan. Selain itu ada 16.186 alokasi dan 388 area perhutanan sosial tumpang tindih dengan izin sawit dan hak guna bangunan,” jelasnya.

Sementara itu, Staff Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi Nasional, Achmad Rozany menyampaikan, sebenarnya Indonesia memiliki banyak regulasi yang menyinggung permasalahan konflik SDA, agraria, dan lingkungan hidup.  Regulasi bersifat sektoral di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, lingkungan hidup, dan sektor pertanahan.  “Jauh sebelum regulasi itu terbit, ada  ketetapan MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” ungkapnya.

Menurut Rozany, Kalsel memiliki cara penanganan konflik yang tertuang dalam Perda No. 4 tahun 2014 dan No. 35 tahun 2015 tentang Tata Cara Fasilitasi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan di Kalsel.  Dalam Perda tersebut, masyarakat dapat melaporkan konflik ke Pemda dan kemudian Gubernur membentuk tim penanganan konflik.  DPRD bertindak sebagai pengawas dalam prosesnya.

“Namun, pelaksanaannya tidak seperti apa yang tertuang dalam peraturan yang ada.  Harusnya ada desk yang khusus menangani konflik itu, tapi sampai sekarang hal itu tidak ada” katanya menyayangkan belum adanya implementasi terhadap kedua Perda tersebut. (devi/adul)

Reporter: Dev/adul
Editor: Chell


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->