Connect with us

NASIONAL

Aktivis Pergerakan Rahman Tolleng Meninggal Dunia

Diterbitkan

pada

Aktivis pergerakan Rahman Tolleng berpulang Foto : net

JAKARTA, Aktivis gerakan 66, Rahman Tolleng, berpulang pada pagi ini. Rahman Tolleng merupakan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos). Kabar duka Rahman Tolleng disampaikan oleh budayawan Goenawan Mohamad lewat akun Twitter. Goenawan Mohamad menyebut, Rahman berpulang tadi pagi.

“Rahman Tolleng, aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) sejak akhir tahun 1950-an meninggal pagi ini di Jakarta. Pejuang demokrasi yang konsisten, tanpa pamrih, berkali-kali gagal – tanpa putus asa. Sahabat yang tak selamanya sepaham,” ujar Goenawan lewat akun Twitternya @gm_gm, Selasa (29/1).

Goenawan juga memposting foto almarhum Rahman Tolleng dengan Wimar Witoelar. Dia mengatakan, Rahman adalah pejuang demokrasi tanpa pamrih. “Rahman Tolleng dan sahabatnya, Wimar Witoelar. Bung Rahman bukan penggemar puisi, tapi ada satu sajak yang ia selalu kenang, dari penyair Belanda Hanriette Roland Holst: “Kita adalah angkatan yang musti punah/Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas makam kami,” tulis GM dilansir detik.com.

Mantan Menkeu Chatib Basri juga menyampaikan duka cita lewat akun Twitter-nya. Chatib menjelaskan, Rahman merupakan sahabat sekaligus gurunya. “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Duka yang amat dalam pagi: telah meninggal dunia sahabat, kakak dan guru saya A. Rahman Tolleng. Nama yang akan tercatat dalam sejarah politik Indonesia. Saya akan selalu kenang, diskusi dan obrolan politik kita. Selamat jalan Bos,” tulis @ChatibBasri.

Meninggal di usia 81 tahun pada Selasa, 29 Januari 2019 pagi pukul 05.25 di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta, Rahman Tolleng dikenal sebagai aktivis demokrasi. Rahman Tolleng dikenal sebagai politikus idealis. Dorongan berpolitiknya datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi ketika dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan di penghujung 1945. Hampir setiap petang, bersama teman sepermainannya, ia mengintip sekelompok anak muda berlatih baris-berbaris di jalan raya. Mereka mengenakan pakaian putih dengan emblem merah-putih tersemat di dada.

Semasa hidup, Tolleng pernah menjabat sebagai Direktur Penerbitan Grafiti Pers pada 1991. Adapun dalam karir politiknya, Tolleng pernah menjadi anggota DPR Gotong Royong (DPRGR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1968-1971. Kemudian menjadi anggota DPR/MPR pada 1971-1974.

Pria kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937 itu dicari-cari di era Orde Lama karena memprotes Dekrit Presiden Soekarno. Sesudah G-30-S, ia menggerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di Bandung, dan ikut memprakarsai penerbitan tabloid Mahasiswa Indonesia pada 1966.

Menjelang pemilu 1971, putra saudagar dan pelaut Bugis ini terlibat dalam proses transformasi Sekretariat Bersama Golkar menjadi Golongan Karya. Karir politiknya maju pesat. Peristiwa Malari, 15 Januari 1974, menjadi titik balik baginya.

Ia dianggap terlibat dalam demonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Tolleng ditahan bersama sejumlah intelektual dan pemimpin mahasiswa masa itu. Meski akhirnya dibebaskan, ia mulai terpinggirkan dari pentas politik. Bahkan, ia di-recall sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kehilangan jabatan di Dewan Pimpinan Pusat Golkar.

Pada awal 1990-an, bersama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan sejumlah tokoh lain, Rahman Tolleng ikut mendeklarasikan Forum Demokrasi yang mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden alternatif menggantikan Soeharto. Gus Dur akhirnya menjadi presiden, tapi Forum menghilang. Bagi ayah dua anak ini, usia bukan rintangan untuk tetap giat di dunia politik. (cel/rvk/asp/dtc/tempo)

Reporter : Cel/rvk/asp/dtc
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->