Connect with us

NASIONAL

Aktivis Kecam RUU Ketahanan Keluarga yang Campuri Urusan Privat

Diterbitkan

pada

RUU Ketahanan Keluarga menui protes banyak kalangan. foto: cnnindonesia

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Aktivis perempuan Tunggal Pawestri mencurigai upaya kelompok agama tertentu memasukkan nilai ideologinya ke dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk RUU Ketahanan Keluarga. Kecurigaan itu berdasarkan pengamatannya terhadap sejumlah RUU yang dianggap telah memasuki ranah privat.

“Banyak hal-hal yang sebenarnya masuk ruang privat itu coba didesakkan ke ruang publik. Bagi saya ini sebenarnya kontestasi ideologi,” kata Tunggal di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu (19/2).

Menurut Tunggal kelompok agama itu tidak lagi melihat konstitusi dan kesepakatan bersama sebagai sebuah bangsa. Mereka lebih memilih mengedepankan nilai-nilai agamanya sendiri ketimbang nilai-nilai bersama yang terkandung dalam konstitusi dan Pancasila. Meski demikian dia tak menyebut definitif kelompok agama yang berusaha menyusupi perundang-undangan.

“Konstitusi kita, Pancasila sudah menghimpun sari-sari dari nilai kebaikan semua agama. Akan jadi bermasalah jika satu agama tertentu atau kepercayaan tertentu hendak dipaksakan masuk, karena kita tahu, negara kita beragam,” ujarnya.

Sejumlah aturan dalam RUU Ketahanan Keluarga dianggap terlalu mengatur soal moral dan kehidupan pribadi warga negara. Seperti mengatur perasaan individu hingga masalah rumah tangga dan orientasi seks.

Pasal 24 dalam draf RUU Ketahanan Keluarga, misalnya, mengharuskan suami-istri yang terikat perkawinan sah untuk saling mencintau, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Sementara pasal 33 draf RUU ini mengatur pemisahan kamar orang tua, anak laki-laki, dan perempuan. Tempat tinggal yang layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki karakteristik antara lain: a. Memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik; b. Memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara Orang Tua dan Anak serta terpisah antara Anak laki-laki dan Anak perempuan; c. Ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatan seksual.

Selein itu, dalam pasal 193 draf RUU Ketahanan Keluarga menyatakan setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Apabila tindakan menyangkut donor sperma ini melibatkan korporasi, maka korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Rp 5 miliar. Korporasi tersebut juga bisa dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

Bukan hanya itu, Pasal 140 juga mengatur bahwa orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain untuk memperjualbelikan, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan mandiri atau melalui lembaga juga akan dipidana.

Pasal 141 RUU Ketahanan Keluarga menyatakan setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi atau menyewakan rahim untuk keperluan memperoleh keturunan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Di pasal 142 menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Dalam pasal 87 draf RUU Ketahanan Keluarga Setiap Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. Pada pasal 88 disebutkan bahwa badan tersebut nantinya dibentuk oleh pemerintah, Badan tersebut bertugas memberikan rehabilitasi sosial, psikologis, medis, dan/atau bimbingan rohani.

Pasal 74 draf RUU Ketahanan Keluarga mengatakan bahwa penyimpangan seksual merupakan salah satu sebab terjadinya krisis keluarga. Adapun kewajiban keluarga melaporkan anggotanya yang memiliki penyimpangan seksual ke badan yang menangani krisis keluarga tertuang dalam Pasal 86.

RUU Ketahanan Keluarga diajukan oleh oleh lima politisi, yakni Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, serta Ali Taher dari Fraksi PAN. (tempo/cnnindonesia)
Editor : kk

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->