Connect with us

HEADLINE

Ulama Mazhab Syafi’i dengan Sabilal Muhtadin-nya, Datuk Kalampaian Seorang Ahli Teknik Pertanian


Jelang Haul ke-212 Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari


Diterbitkan

pada

Kitab Sabilal Muhtadin Foto : net

Kontekstual

Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin,” menyatakan, “Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menyatakan, “Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya.  “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata,” ujar Kailani.

“Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak,”.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Mas’udi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.


Laman: 1 2 3

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->