Connect with us

HEADLINE

Walhi Ajukan Banding Dalam Tempo 2 Minggu, Dukungan Pemprov Dinanti!

Diterbitkan

pada

Walhi Kalsel menegaskan akan melakukan banding atas putusan PTUN Jakarta Foto: rico

BANJARBARU, Ditolaknya gugatan yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Mantimin Coal Mining (MCM), tak membuat aktivis lingkungan berhenti. Walhi bahkan berencana akan ajukan banding dalam kurun waktu satu hingga dua minggu ke depan. Di sisi lain, sikap Pemprov Kalsel masih belum terlihat dalam kasus ini.

Sebelumnya, Kementrian ESDM menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait penyesuaian tahap kegiatan perjanjian batubara PT MCM menjadi tahap kegiatan operasi produksi yang berlokasi di tiga kabupaten yaitu Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah. Salah satu lokasi yang nantinya menjadi tempat beroperasi tambanh adalah di Kecamatan Batang Alai Timur tepatnya di Sungai Batang Alai dengan luasan 1.955 hektare yang merupakan hulunya Gunung Meratus yang menjadi jantung Kalsel dan hilirnya berada di Barabai.

Hal ini, membuat Walhi Kalsel mengajukan gugatan terhadap Kementerian ESDM dan PT MCM pada 8 Februari lalu. Sidang yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta berlangsung selama 8 bulan tersebut akhirnya membuahkan kecewaan bagi Walhi Kalsel. Pasalnya, pada Senin (22/10), Majelis Hakim PTUN Jakarta yang terdiri dari Hakim Ketua, Sutiyono, SH, MH. dan Hakim Anggota Joko Setiono, SH, MH dan Dr. Nasrifal, SH. MH, memutuskan gugatan Walhi tidak diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).

Majelis Hakim menilai bahwa PTUN Jakarta tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara ini. Majelis Hakim berargumen bahwa Kontrak Karya terkait dengan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan PT. Mantimin Coal Mining (PT. MCM) berada dalam ranah hukum perdata.

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid mengatakan, atas putusan Majelis Hakim ini, pihaknya akan melakukan banding. Upaya banding yang akan ditempuh oleh Walhi untuk membuktikan bahwa penilaian PTUN Jakarta terkait dengan kewenangannya tersebut adalah keliru.

“Walhi berpandangan terkait dengan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka menjadi kewenangan bagi PTUN untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan perkara ini. Kami juga menyesalkan dasar pertimbangan Majelis Hakim yang meletakkan entitas negara setara dengan entitas korporasi,” tegasnya.

Sontak saja kabar ini dengan cepat terdengar hingga ke Kalsel. Dalam konfrensi Pers yang digelar di Kantor Walhi Kalsel Kota Banjarbaru, Selasa (23/10) malam, Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Walhi Kalsel menyesalkan dan kecewa dengan keputusan tersebut. Ia mengatakan keputusan ini mencederai mayoritas aspirasi masyarakt Kalsel, khususnya Kabupaten HST. Apalagi, dalam putusan tersebut Walhi juga harus membayar biaya perkara sebesar Rp 21.271.000.

“Putusan ini mencederai masyarakat Kalimantan Selatan khususnya HST yang mayoritasnya baik pemerintahnya, masyarakat kaum ulama agama dan tokoh adat tidak menyetujui adanya Amdal terkait tambang itu. Hal ini juga sekaligus menciderai upaya penegakan hukum lingkungan di Indonesia,” tegasnya

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK), Rumli. Ia mengatakan sangat kecewa dengan putusan ini dan akan tetap berjuang untuk penyelamatan meratus dengan semboyan rakyat Kalimantan Selatan Waja sampai Kaputing. “Kita tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir” bebernya.

Walhi Kalsel beranggapan Majelis Hakim mengabaikan fakta persidangan yang telah disampaikan oleh penggugat baik di PTUN maupun pemeriksaan setempat (PS) yang dilaksanakan di Desa Nateh Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan.

Selama sidang setempat, penggugat dan masyarakat bisa memperlihatkan kondisi lingkungan dan masyarakat yang hidup di daerah yang akan terkena dampak pertambangan. Masyarakat bisa hidup tanpa ada pertambangan dan alam terjaga dengan baik yang terancam apabila dilakukan penambangan batubara.

Daerah pertambangan juga bagian dari DAS Batang Alai yang sedang dibangun daerah irigasi Batang Alai merupakan salah satu proyek nasional ketahanan pangan. Terlebih desa Nateh juga mendapatkan SK Hutan Desa dari Presiden langsung. Izin yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM bertentangan dengan semangat Presiden untuk mengakui dan melindungi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dijelaskan juga, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan benteng terakhir atau rimba terakhir Kalimantan Selatan yang harus diselamatkan dari ancaman daya rusak industri tambang batubara.

Jika Majelis Hakim sudah menilai mengenai kewenangan absolut, maka seharusnya pengadilan dalam tahap pemeriksaan awal menetapkan bahwa gugatan bukan kewenangan TUN. Proses pembuktian materilnya pun menjadi sia-sia, jika akhirnya Majelis Hakim memutus NO, yang dalam hal ini bertentangan dengan asas peradilan mudah, cepat dan murah.

 Pemprov Harus Bersikap

Kisworo juga menjelaskan penyelamatan Gunung Meratus, lewat tagar SAVEMERATUS, harus kembali digelorakan. Baik itu masyarakat dan terutama Pemerintahan Provinsi. Menurutnya Gubernur Kalsel Sahbirin Noor juga harus turun tangan terkait hal ini karena selama ini belum pernah ada terdengar dukungan yang berikan Pemprov.

“Saya kira Bapak Gubernur harus tangan, karena selama ini kita belum pernah mendengar statement maupun dukungan dari beliau. DPR maupun Pemerintah Kabupaten lainnya juga kita harapkan memberi dukungan. Dukungan bisa apa saja baik itu statement surat maupun penandatangan petisi.” Ucapnya

Perlu diketahui PT.MCM mendapatkan izin pengoperasian pertambangan dengan total luas lahan 5.308 Hektare di 3 Kabupaten Kalsel. Diantaranya di Blok Batutangga (HST) dan Blok Upau (Tabalong dan Balangan) yang mana daerah tersebut merupakan kawasan hutan lindung terutama di Gunung Meratus. Alih-alih mensejahterahkan rakyat, kegiatan tambang ini justru malah membuat masyarakat sengsara.

Hal ini diungkapkan Kepala BPBD Banjarmasin Ali Fahmi yang menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten HST bermata pencarian sebagai petani. “80% penduduk HST profesinya adalah petani. Siapa yang bertangguh jawab jika ada tambang jika ada di sana.” ungkapnya disela wawancara.

Terkait banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara  (PTTUN) nantinya akan diajukan Walhi Kalsel dalam kurun waktu 1 hingga 2 minggu ke depan. Bukan tanpa persiapan, Walhi sendiri telah menyiapkan bukti-bukti baru yang kuat.

“Kita ajukan kurang lebih 1 hingga 2 minggu kedepan, dan selama moment itu kita akan siapkan berkas dan bukti baru yang kuat untuk diajukan ke PTUN dan PTTUN di Jakarta, kami siap” lanjut Direktur Walhi Kalimantan Selatan.

Sementara itu kedepannya Walhi akan akan berkonsulidasi kembali untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat Kalsel terkait penolakan pengoperasian tambang ini. Sama seperti beberapa waktu yang lalu aspirasi mengalir dari masyarakat lewat penanda tanganan petisi dari masyarakat kalsel yang mencapai 40.000 orang yang dengan tegas menolak penambangan di Meratus dan yang terakhir pada 11 Oktober lewat doa Istiqosah dengan para alim ulama yang dipimpin Ketua Mui di Masjid Agung Barabai.

Di sisi lain, keputusan Majelis Hakim PTUN terkait penolakan gugatan ini membuat Walhi nantinya semakin mendorong negara untuk membentuk Pengadilan Lingkungan. (Rico)

Reporter: Rico
Editor: Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->