Connect with us

Kopi Sastra

Pamflet Masa Darurat Sang Burung Merak yang Mengancam Kekuasaan!

Diterbitkan

pada

Sang burung merak WS Rendra. Grafis: kanalkalimantan/andy

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Mas Willy. Begitu dia dipanggil. Dan, tentu saja kita mengenal nama besarnya sebagai penyair sang burung merak, WS Rendra!

Lewat puisi, Rendra menunjukkan intensitas keberpihakannya pada rakyat kecil, yang ditindas atas nama negara, pembangunan, juga formalisme agama.

Kumpulan puisinya yang berjudul Potret Pembangunan yang terbit pada tahun 1993, (merangkum 27 puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1975 – 1978), meneguhkan kekuatan kata-kata yang mampu menggedor tembok kekuasaan.

Di tangan Rendra, puisi menjelma senjata—yang ia sebut pamflet masa darurat, akan suara orang-orang yang ada di jalanan. Sebagaimana Plato, ia bertanya dan bertanya, untuk menggugah kesadaran kolektif bangsa dan kebudayaan. Tapi sayangnya, “pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan,” uangkapnya dalam Sajak Sebatang Lisong.

 

Ya, melalui puisi-puisinya, Rendra memberikan perhatian pada berbagai kalangan yang oleh masyarakat di sebut marjinal.

Melalui karya-karyanya – baik puisi, naskah drama, ataupun essai – Rendra menetapkan posisinya sebagai seorang penyair yang menulis tentang (pamflet) politik. Ia menyadari bahwa puisi dan drama memiliki sandingan fungsi estetik juga politik, sehingga sebagai seorang penyair, Rendra berbicara tentang persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat, yaitu puisi.

Pada titik inilah kita dapat dengan jelas melihat kekuatan pamflet politik Rendra: ia merupakan representasi tajam dari realita sosial dan politik yang dituturkan melalui bahasa yang lugas, liar, dan tidak berbunga-bunga, sehingga membuat puisinya cenderung dapat dinikmati oleh khalayak ramai, menyentuh emosi serta menembus pengalaman dari berbagai kelompok masyarakat.

“Melalui representasi tersebut, Rendra berhasil merangkum kegelisahan, ketakutan, ketidakadilan yang mengendap dalam benak masyarakat. Ia lalu menyuarakannya sebagai bentuk otokritik bagi struktur masyarakat yang mandeg fungsinya,” kata Aliyuna Pratisti, dalam tulisannya Revolusi Estetik: Rendra tentang Representasi Rakyat, Negara dan Budaya, 2014.

Sang Burung Merak, WS Rendra saat membacakan puisinya. Foto: kompas

Karena puisi-puisinya, Rendra pun seringkali mendapat ancaman, teror, penahanan, oleh aparat keamanan. Bahkan tak jarang, sejumlah penampilannya pun diboikot!

Beberapa hari sebelum membacakan sajak-sajak bertema pembangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 28 April 1978, sepucuk surat anonim diterima Rendra, isinya mengancam ia dan keluarganya. Pada saat pementasan, bom amoniak dilemparkan, mengakibatkan tiga orang penonton pingsan. Tiga hari setelah penyerangan, Rendra ditahan aparat keamanan.

Kodam Jaya menyatakan bahwa penangkapan Rendra adalah upaya “mengamankan” penyair itu dari ancaman pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Sementara menurut Laksamana Sudomo, Wakil Pangkopkamtib, penahanan tersebut dilakukan karena puisi-puisi Rendra dianggap menghasut.

Baca juga :

Kisah Pemuda Bohemian Sang Penyala Api Perjuangan

 

Dalam riwayat kepenyairannya, Rendra memang tak hanya menulis sajak-sajak pamflet, ia juga banyak menulis tentang cinta. Namun kiranya sepak terjang ia dalam melawan penguasa dan menyurakan penderitaan rakyat adalah sesuatu yang terpacak paling kuat di benak masyarakat.
***

7 November 1935, WS Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, dengan nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra. Rendra lahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.

9 Pujangga yang Tak Lekang Oleh Waktu. Infografis : kanalkalimantan/andy

Dilihat dari nama-nama ini, sebut Harlina Indijati dan Abdul Muraddikutip dalam Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya (1996), dapat ditebak keluarga ini adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa.

Sugeng Brotoatmodjo adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo. Selain itu, ayah Rendra ini juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional. Sementara sang ibu, Raden Ayu Catharina, seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Tumbuh-besar di lingkungan seni dan budaya, maka tidak heran jika nantinya Rendra menjelma sebagai sosok seniman ulung yang telah menghasilkan seabrek karya sastra, dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.

Suatu hari, Rendra dan sahabatnya yang berasal dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta untuk sekadar berekrasi. Saat mereka tiba di kandang burung merak, terlihat seekor merak jantan yang tengah dikerubungi merak-merak betina. Secara spontan, Rendra berkata, “Seperti itulah saya.”

Dari situlah julukan Si Burung Merak yang kemudian amat lekat dengan sosok Rendra berasal.

Rangkaian puisi dan sajak pernah tercipta dari buah pikir Rendra,termasuk Blues untuk Bonnie, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Disebabkan oleh Angin, Sajak Sebatang Lisong, Orang-Orang Rangkasbitung, State of Emergency, Doa untuk Anak-Cucu, dan masih banyak lagi.

Rendra piawai pula menulis naskah drama, seperti yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan, Bib Bob Rambate Rate Rata, Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor, Kasidah Barzanji, Lingkaran Kapur Putih, Panembahan Reso, Kisah Perjuangan Suku Naga, Shalawat Barzanji, Sobrat, dan lainnya.

Selain itu, Rendra juga menerjemahkan karya sastra dari banyak tokoh besar dunia, seperti Hamlet dan Machbeth karya William Shakespeare, lalu Oedipus Rex, Odipus di Kolonus, dan Antigone karya Sophokles, juga Lysistrata karya Aristophanes.

Tahun 1961, sepulangnya dari sekolah di Amerika Serikat, Rendra membentuk kelompok teater di Yogyakarta. Selanjutnya pada 1985, tulis Ulinuha Rosyadi dalam Biografi Tokoh Sastra (2012), ia mendirikan markas kegiatan berkesenian yang ia namakan Bengkel Teater. Di sinilah segala proses penciptaan karya dijalani Rendra.

Menurut Radhar Panca Dahana, dalam salah satu wawancaranya dengan Medcom.id, mengakui bahwa keberadaan Rendra memberikan banyak pengaruh pada perkembangan kesusasteraan di Indonesia.

Kehadirannya membuat sastra Indonesia menjadi terhormat. “Sekarang? Mungkin yang nyaring banyak, tapi kualitas rendah. Akhirnya guyon saja, buat tertawaan,” ujar Radhar.

Menurutnya, sastra memerlukan posisi tawar agar kesusasteraan bisa memiliki posisi strategis dalam kehidupan berbangsa, bahkan sampai ke tingkat individual.
Kita merindukan Rendra! (Kanalkalimantan.com/cel/berbagai sumber)

Editor : Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->