Connect with us

VOA

Indonesia Kekurangan Peneliti Naskah Sejarah Kuno

Diterbitkan

pada

Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro menyoroti hal tersebut dalam kuliah umum bertajuk Peningkatan Sastra dan Budaya Daerah di Kemendikbud, Kamis (6/12). Foto: VOA/Fathiyah

Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro mengatakan Indonesia kekurangan peneliti naskah sejarah kuno. Dan hingga kini masih banyak naskah kuno sejarah bangsa Indonesia dalam bentuk lontar yang belum dikaji. Di kantor Arsip Nasional masih terdapat 15 juta lembar naskah VOC juga belum banyak diteliti.

Dokumentasi sejarah masih menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Selain arsip dan naskah-naskah kuno bertebaran di beragam tempat hingga keluar negeri, Indonesia juga masih kekurangan peneliti khusus naskah dan arsip kuno sejarah bangsa ini.

Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro menyoroti hal tersebut dalam kuliah umum bertajuk Peningkatan Sastra dan Budaya Daerah: Kasus Naskah dan Panji yang digelar dalam rangkain Kongres Kebudayaan Indonesia berlangsung selama 5-9 Desember di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Kamis (6/12).

Wardiman menjelaskan naskah dan arsip-arsip kuno Indonesia telah dikumpulkan oleh Belanda sejak 1760 dan mereka pula yang mengkaji naskah dan arsip kuno itu.

Menteri Pendidikan periode 1993-1998 itu menilai naskah dan arsip kuno sangat penting dan menjadi salah satu alat buat menguji keaslian cerita legenda yang banyak beredar di Indonesia.

Wardiman menegaskan masih banyak naskah kuno sejarah bangsa Indonesia dalam bentuk lontar yang belum dikaji. Bahkan di kantor Arsip Nasional, ujarnya, masih terdapat 15 juta lembar naskah VOC juga belum banyak diteliti.

“Jumlah peneliti dan program penelitian ya maaf saja belum (mencukupi). Peneliti sejarah kita sedikit sekali. Artinya sejarah sebelum 1900, kalau sejarah setelah 1900 memang cukup banyak,” kata Wardiman.

Persoalan lainnya, menurut Wardiman, adalah Indonesia kekurangan tempat penyimpanan arsip dan naskah-naskah kuno serta anggaran. Juga masih banyak pihak menolak digitalisasi arsip-arsih sejarah.

Wardiman menekankan Kongres Kebudayaan Indonesia yang berlangsung sejak hari Rabu (5/12) menjadi evaluasi terhadap perjalanan bangsa Indonesia lima tahun lalu dan masa depan yang akan dilewati dalam lima tahun mendatang.

Pada kesempatan itu, Wardiman juga menyebutkan benda bersejarah di Indonesia telah diakui sebagai warisan sejarah dunia, yakni Candi Borobudur diakui pada 1991, Taman Nasional Komodo (1991), Candi Prambanan (1991), Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Sangiran (1996), Taman Nasional Lorens (1996), Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004), Subak (2008), System as Manifestation of a Tri Gita Karana (2012).

Wardiman menyayangkan karena hingga kini baru delapan kekayaan bangunan bersejarah Indonesia yang diakui UNESCO sebagai warisan sejarah dunia, padahal begitu banyak kekayaan Indonesia lainnya yang masih belum tersentuh.

Warisan sejarah non-benda yang telah diakui UNESCO juga baru mencakup wayang, keris, batik, angklung, tari saman, tas noken, tiga genre tarian Bali, kapal phinisi. Lagi-lagi Wardiman menyayangkan karena hanya delapan warisan sejaran Indonesia untuk kategori non-benda yang diakui oleh UNESCO.

Kepada VOA usai kuliah umum tersebut, Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), Nasir Tamara Adiningrat mengakui sangat menyesalkan karena sekarang pelajaran sejarah dan sastra sudah dihapus di sekolah-sekolah.

“Sangat menyedihkan dan sangat berbahaya karena nanti pengetahuan orang tentang kebangsaan kita, tentang latar belakang kenapa negara kita ini lahir, mengapa negara ini jadi bangsa, akan hilang kalau sejarahnya nggak ada. Sejarah itu dibuat dengan penelitian yang sungguh-sungguh. Kalau itu hilang, kita akan binasa sebagai bangsa. Hati-hati itu semua,” pesan Nasir.

Nasir Tamara menambahkan, dalam sejarah yang diajarkan prinsip dasar bangsa Indonesia adalah toleransi, gotong royong, saling menghormati, punya akhlak. Sejarah pula yang menyatakan laut adalah penghubung antar pulau.

“Sejarah kita mengatakan bahwa laut itu adalah yang menghubungkan antar pulau di dalam sejarah bahari kita. Itu kalau nggak diajarkan, jadi kita tetap aja (fokus) darat. Jadi penting banget,” imbuhnya.

Nasir Tamara mengklaim karena pelajaran sejarah sudah dihilangkan dari kurikulum efek negatifnya sudah terlihat saat ini, yaitu masyarakat terpecah dalam berbagai golongan dan ideologi. Dia meminta presiden harus mewajibkan lagi pengajaran sejarah di lembaga-lembaga pendidikan.

Namun Wardiman membantah kalau pelajaran sejarah sudah dihapus di sekolah-sekolah. Dia mengklaim pelajaran itu masih ada, hanya jam pelajarannya saja yang sudah sangat berkurang.

Selain kuliah umum, beragam kegiatan juga digelar selama Kongres Kebudayaan Indonesia tersebut. Antara lain pertunjukan, lokakarya, pemutaran film FFI 2018, sidang pleno Kongres Kebudayaan Indonesia, dan aneka pameran. (fw/em/kk/voa)

Reporter:fw/em/kk/voa
Editor:KK


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->