Connect with us

NASIONAL

Aktivis Pembela HAM, Berjuang di Jalan Sunyi yang Minim Perlindungan

Diterbitkan

pada

Tangkapan layar bincang hukum secara daring bertajuk Perlindungan Hukum Pembela HAM dan Environmental Defender, Senin 18 Mei 2020. (VOA/Anugrah).

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Mantan vokalis “Banda Neira” Ananda Badudu tidak menyangka jika keresahannya melihat aksi kekerasan di Papua dan apa yang disebutnya sebagai “upaya pelemahan KPK” lewat serangkaian cuitan di Twitter dengan tagar #ReformasiDikorupsi akan berbuntut panjang. Terlebih ketika ia kemudian dikaitkan dengan aliran dana pada para pengunjukrasa dalam aksi demonstrasi yang berakhir ricuh pada 24 September 2019. Tiga hari setelah demonstrasi itu ia diperiksa di Polda Metro Jaya sebagai saksi perkara aliran dana. Belakangan ia dilepas polisi.

Ananda Badudu, musisi yang kemudian menjadi aktivis demokrasi ini, angka bicara dalam sebuah diskusi daring tentang pengalamannya dan minimnya perlindungan terhadap aktivis seperti dirinya. Bahkan lembaga negara seperti Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurutnya kurang proaktif dalam melindungi para aktivis ketika dikriminalisasi oleh banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum.

“Itu sangat minim dirasakan. Pendekatan yang responsif itu diperlukan karena kekerasan dan represi datang dengan menabrak aturan. Tak mungkin dihadapi dengan pendekatan birokratis,” kata Ananda.

Mantan vokalis “Banda Neira” Ananda Badudu. Foto: VOA/Rio Tuasikal

Ditambahkannya, Komnas HAM dan LPSK yang dibentuk atas amanat undang-undang semestinya harus berani pasang badan melindungi para aktivis, terutama ketika mereka merasa dihantui beragam ancaman; mulai dari penangkapan, serangan buzzer, Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik ITE hingga teror. Menurut Ananda, ancaman-ancaman tersebut menimbulkan ketakutan bagi para aktivis pembela HAM.

“Sumber rasa takut itu berasal dari ancaman-ancaman yang ada berdasarkan pengalaman pribadi, dan teman-teman merasakan langsung. Lalu, ada berbagai kasus penangkapan. Itu jadi suatu tekanan psikologis bagi siapa pun yang tergerak di bidang sosial politik. Ancaman-ancaman itu bermuara pada satu hal yaitu membuat rasa takut,” ungkapnya.

LPSK Akui Tantangan yang Dihadapi

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias yang juga hadir dalam bincang hukum virtual itu memaparkan tantangan yang dihadapi lembaganya ketika hendak memberi perlindungan pada aktivis HAM dan lingkungan.

“Seringkali kasusnya tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kemudian penegak hukum tidak mau menerima laporan mereka. Sementara LPSK ini bekerjanya untuk proses penegakan hum tindakan pidana. Kalau tidak ada tindak pidana yang diungkap kami enggak bisa memberikan perlindungan,” katanya.

LPSK, tambah Susilaningtias, juga mengalami kesulitan untuk mendampingi para aktivis ketika dikriminalisasi, karena perbedaan persepsi di dalam LPSK sendiri tentang perlindungan para para aktivis.

“Sering kali dalam proses pengambilan keputusan kami tidak bulat. Tidak semua persepsi pimpinan itu sama jadi itu salah satu masalah,” ujar Susilaningtias.

Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Hairansyah menuturkan praktik perlindungan hukum terhadap aktivis pembela HAM hampir tidak ada. Malahan serangan terhadap aktivis pembela HAM makin masif.

“Artinya ancaman semakin nyata dan konkrit. Ancaman terhadap pembela HAM sangat banyak mulai dari pembunuhan, penculikan, teror, intimidasi, pelecehan seksual, dan kriminalisasi,” tuturnya.

Studi HRSF & Tifa Foundation

Studi yang dilakukan Human Rights Support Facilities HRSF dan Tifa Foundation tahun ini mendapati adanya sejumlah kebijakan perundang-undangan yang mengindikasikan adanya peluang dan hambatan perlindungan bagi aktivis HAM dan lingkungan.

Laporan ini menyatakan “peluang dan hambatan perlindungan dalam perundang-undangan ditemukan hampir di semua basis hak-hak pembela HAM seperti hak atas informasi, hak atas berpendapat, hak atas turut serta dalam sistem pemerintahan, hak atas pemulihan, hak atas berkumpul, hak atas berserikat atau berorganisasi, hak atas pengakuan, hak atas sumber daya.”

Tidak banyak aturan yang diketahui memberi jaminan secara spesifik, kecuali dalam UU Pers. Namun seiring berjalannya waktu dan dinamika politik Indonesia, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan positif di masa depan. (aa/em-VOA)

Reporter : Anugrah
Editor : VOA

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->