Connect with us

HEADLINE

Cerita Dua Perempuan ‘Kuat’ yang Memilih Hidup Beratap Jembatan Antasari

Diterbitkan

pada

Permukiman kumuh di kolong bawah jembatan Antasari Banjarmasin. Foto : Mario

Siapa yang tidak kenal Jembatan Pangeran Antasari, di ibukota Provinsi Kalsel. Sebuah jembatan yang melintang di atas Sungai Martapura ini menjadi sarana jalur transportasi yang diapit oleh Pasar Sudimampir dan Ramayana Plaza Mitra. Belum lagi di sekitarnya berdiri kokoh Swiss-Belhotel Borneo Banjarmasin. Namun, tahukah masyarakat jika tepat di bawah jembatan yang biasa dilalui sehari-hari ini, ada urat nadi kehidupan yang saban hari berjuang melawan kerasnya ibukota.

Aliran sungai dan klotok yang berlalu-lalang menjadi pemandangan sehari-harinya Nor Janah (59) dan Siti Syahriah (54) -biasa disapa Acil Aluh-. Ya, di bawah jembatan inilah kedua sosok perempuan ini tinggal. Bermodalkan bahan seadanya mereka membangun tempat tinggal di mana sekarang mereka tidur, memasak, mandi cuci kakus (MCK), serta bertahan hidup dari hujan dan teriknya panas matahari.

Kanalkalimantan disambut baik, mendengarkan cerita-cerita kehidupan mereka. Dua perempuan ini merupakan warga paling tua yang tinggal di bawah jembatan ini. Mereka sudah berada di bawah jembatan tersebut sejak tahun 2003. Dulu jumlah anggota yang tinggal di bawah jembatan mencapai hingga 20 orang lebih.

“Sekarang sisa kami berlima. Kalau yang lain itu cuma orang numpang,” cerita Nor Janah sembari menunjuk beberapa orang di bawah jembatan lainnya.

Mereka tidak serta merta lahir dan besar di bawah jembatan. Dulu mereka mempunyai rumah di kawasan yang tidak jauh dari jembatan. Seiring berkembangnya pembangunan, tempat mereka pun digusur dan cuma diganti rugi sebesar 1,5 juta rupiah.

Bahkan Acil Aluh dulu sempat mempunyai sebuah usaha warung kopi di pelabuhan yang sempat ada di bawah jembatan tersebut, kala mendiang suaminya masih hidup. Kini perempuan yang pernah mengenyam sekolah hingga STM kelas 3 itu hidup sebatang kara.

Berbeda dengan Acil Aluh, Nor Janah yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar ini mempunyai seorang suami bernama Suparno dan seorang anak laki-laki bernama Muhammad. “Ya untunglah dia (Muhammad) bekerja. Sudah dua tahun ikut mengangkut tanki minyak,” ujar Nor Janah.

Nor Janah mengumpulkan botol-botol bekas untuk dijualnya. Ia hanya mendapatkan Rp1000 dari menjual setiap 1 Kg botol bekas. “Saya biasanya jam 2 subuh ke belakang Mitra mengumpulkan botol. Sehari biasanya dapat hasil 20 ribu. Itu pun syukur,” ceritanya.

 

Sedangkan acil Aluh lebih sering diam di tempat tinggal mereka. Hal ini dikarenakan ia sudah sering merasa sakit dan tidak kuat lagi jika harus berdiri dan berjalan jauh.

Tentu, namanya razia Satpol PP sudah sering dilalui oleh dua wanita ini. Bahkan tim Satpol PP sudah mengenali dan menggelari mereka perempuan yang keras kepala. Sepekan yang lalu, tempat tinggal mereka tepat di bawah naungan jembatan sudah dipagari petugas. Alhasil kini mereka harus sedikit bergeser di mana “atap jembatan” tidak lagi menaungi mereka.

Kedua wanita ini mengaku sudah lelah dengan razia yang kadang membuat nasib mereka tidak tahu akan diapakan, oleh sebab itu mereka lebih memilih untuk melawan.

“Kalian enak tugas, kami di sini sakit. Malah tempat tinggal kami kalian tutup,” kata-kata seperti itulah yang sering ia lemparkan kepada para petugas.

Jika hujan deras, tentu mereka harus berteduh ke tempat lain. Belum lagi jika air sungai sedang pasang naik, mereka tidak bisa bertahan di situ saja.

Pihak Swiss-Belhotel Borneo Banjarmasin yang berada di sekitar tempat mereka sudah sangat mengenal kedua wanita ini. Bahkan mereka membantu aliran listrik agar ada lampu untuk menerangi tempat mereka tinggal. “Kadang pihak hotel menyuruh kami membersihkan sampah-sampah di hotel kalau selesai kegiatan, lumayan dapat 100 ribu. Tapi sekarang karena sering sakit, kami sering dikasih makan dan kue sisa kegiatan,” beber Acil Aluh.

Ya, tidak hanya Acil Aluh, Nor Janah juga juga sudah mulai sakit-sakitan. Ia menceritkan bahwa tonjolan yang entah apa di perutnya kadang sering gatal dan sakit. “Mau ke rumah sakit, tidak ada uangnya. Jadinya saya ke dukun. Sudah banyak dukun saya datangi. Sekarang sudah mending, tapi tetap saja sakit,” cerita Nor Janah sembari menunjukan tonjolan tersebut yang sudah tujuh tahun ini menimpanya tanpa bisa ia bawa berobat karena terkendala ekonomi. Tanpa sadar air mata pun membasahi pipi Nor Janah.

Makin banyak kisah pilu kehidupan yang ia bagikan. Bahkan menjadi korban pemerkosaan pun ia pernah alami. “Dulu pernah ada orang katanya mau memancing malam-malam. Ternyata saya malah diperkosa, disangkanya saya PSK. Anak saya marah sekali waktu itu. Ya namanya hidup, ada-ada saja kisahnya,” ia bercerita dengan tegar.

Kedua wanita ini juga mengaku sangat jarang menerima bantuan dari pemerintah. Malahan, kebanyakan anak muda yang suka memberi mereka bantuan berupa beras atau nasi bungkus. Kadang ojek online yang sering menunggu pelanggan di halaman Swiss-Belhotel suka memberi bantuan kepada mereka.

“Anak-anak muda itu ada yang dari Rantau, Pelaihari, Kandangan. Mereka berkumpul. Kalau jelang lebaran, itu lebih banyak (bantuan). Ya kami ini bersyukur saja,” ungkapnya.

Ketika ditanyai apakah mereka mau diberi pelatihan keterampilan dari pemerintah, ia menolak. “Kami ini hanya perlu bantuan tempat tinggal dan modal usaha saja. Sama bantuan berobat. Itu saja. Jadi nanti uang usaha kami bisa kami gunakan berkelanjutan,” harapnya.

Pada akhirnya, di sela harapan tersebut, Nor Janah dan Acil Aluh hanya bisa berharap uluran tangan orang-orang yang benar-benar peduli. Karena jika terus dibiarkan seperti ini, mereka hanya akan menjadi manusia yang bahkan tidak ada seorang pun mengingatnya saat mereka pergi.

“Ya kami cuma bisa di sini saja. Paling tidak kami bekerja baik, tidak mencuri dan jual diri.  Duduk terdiam lalu meninggal di sini pun mungkin tidak ada orang tahu dan peduli” ia mengakhiri kisahnya. (mario)

Reporter:Mario
Editor:Abi Zarrin Al Ghifari


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->