Connect with us

HEADLINE

Abah Natih, Hidup Diantara ‘Ancaman dan Teror’ demi Pertahankan Lestarinya Meratus

Diterbitkan

pada

Abah Natih merasakan teror dan ancaman dari resiko mempertahankan kelestarian Meratus. Foto : mario

BARABAI, Upaya warga Desa Nateh dalam mempertahankan kelestarian desanya dari aktivitas tambang, bukan tanpa resiko. Bahkan, sejumlah ancaman dan teror pernah dihadapi warga yang dilakukan oleh sejumlah preman.

Salah satunya adalah Abah Natih. Pria bernama asli Abaini, yang saat ini menjabat Kepala Badan Perwakilan Desa (BPD) Nateh ini, beberapa kali mendapatkan intimidasi langsung akiat sikap kerasnya menolak tambang di daerahnya.

Bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Abah Nateh bahkan turut hadir dalam persidangan untuk menolak perizinan tambang PT. Mantimin Coal Mining (MCM) yang diteken oleh Menteri dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 4 Desember 2017 lalu. Di tengah masih berjalan proses persidangan, Abah Natih mengaku sempat didatangi preman bersenjata tajam di rumahnya.

Masih dalam proses persidangan, tiba-tiba saja Abah Natih harus kedatangan tiga preman yang katanya meminta dirinya untuk segera memberi tanda tangan perizinan agar di wilayahnya bisa dilakukan aktivitas pertambangan. Izin dari Abah Natih selaku BPD Nateh tentu mempunyai peranan kunci. Namun tentunya Abah Natih tidak akan pernah memberikan izin tersebut.

Ketiga preman itu mendatangi kediaman Abah Natih pada tahun 2018 silam. Mereka membawa pistol rakitan dan golok. Bahkan Abah Natih mengaku ia masih melihat senjata lainnya yang disembunyikan oleh para preman di balik baju mereka. Preman itu berada di depan rumah Abah Natih dari pukul 10.00 hingga 15.00 WITA. Abah Natih sama sekali tidak keluar akibat permintaan istrinya yang memintanya untuk tidak membuka pintu rumah mereka.

Para preman itu kabur setelah mendapat informasi bahwa pihak kepolisian tengah menuju ke rumah Abah Natih saat menerima laporan dari warga. Namun akhirnya datang hari di mana ketiga preman itu tertangkap.

Abah Natih pun bertemu dengan ketiga preman itu dan di hadapan kepolisian mereka membuat perjanjian. Isi perjanjian itu ihwal jika Abah Natih ditemukan terluka atau bahkan meninggal, ketiga preman tersebut haruslah ditangkap. Hal ini ia lakukan mengingat waktu itu keselamatan dan keamanan Abah Natih berada di situasi genting.

Ketiga preman itu berasal dari Batang Alai Selatan. Abah Natih menduga mereka dibayar oleh seseorang atas aksi mereka. “Sekarang masih suka ketemu kalau di pasar. Biasanya cuma saling lihat-lihatan. Sekarang saya juga mulai lebih awas. Kalau malam lebih hati-hati, apalagi kalau ada orang asing mengetuk pintu rumah,” tutur Abah Natih.

Perlu diketahui, 21 April 2017 Abah Natih menerima SK Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. SK ini tentang pemberian hak pengelolaan hutan desa kepada lembaga pengelola hutan desa Nateh seluas lebih kurang 1.507 hektar pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi tetap di desa Nateh. Abah Natih menerima SK tersebut langsung dari presiden RI Joko Widodo. Namun melihat tiba-tiba saja 4 Desember 2017 Kementerian ESDM memberi izin tambang di kawasan Meratus bagi PT MCM, hal ini tentu melukai hatinya, ungkap Abah Natih.

Abah Natih kini hidup berdua dengan istrinya. Anak perempuannya sudah berkeluarga dan tinggal di Banjarbaru. Rumah Abah Natih menjadi wadah singgah bagi siapa saja yang bertandang ke desa Nateh. Sudah banyak orang luar yang menginap di wadahnya, baik dari mahasiswa yang melakukan KKN hingga para peneliti dari luar negeri yang sedang dalam proyek penelitiannya.

Entah berada di posisi ke berapa rombongan kami di antara orang-orang yang sudah merasakan keramahan Abah Natih dan kehangatan nasi dari beras khas Nateh buatan istri Abah Natih. Namun yang pasti, malam itu kami kembali bersistirahat. Sebelum esoknya siap untuk menjelajah salah satu goa di gunung Pesulingan Desa Nateh. (mario)

Reporter : Mario
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->